Angin? Ombak? Makanan? Air tawar? Kapal bantuan? Bertahan hidup? Hidup atau mati?
Sendirian di kemah pada siang hari, hari kedua survive, aku nyaris meledak dan motivasiku mulai menurun. Meskipun aku menghibur diri dengan cara mendengarkan musik dari smartphone yang terhubung ke mini speaker bluetooth, suaranya masih kalah dengan gemuruh ombak.
Karena merasa terganggu, aku mengambil peralatan hammock dan memutuskan pergi mencari keheningan. Aku masuk ke hutan, mencari dua pohon yang berjarak tiga hingga lima meter, lalu mulai men-set-up konsep hammock camping. Begitu selesai, aku merebahkan diri ke hammock sambil mendengarkan lagu nostalgia band-band Indonesia yang nge-hits di era 2000-an, memberikan libur yang indah kepada otakku. Mendengarkan alunan musiknya memang bisa melemahkan hati, namun juga bisa menawarkan obat pelipur lara dan merasa dipeluk, seperti mengambang dalam air yang hangat. Momen-momen seperti ini adalah suatu peristiwa yang sangat jarang terjadi dalam hidupku. Hanya pada saat itulah aku merasa kembali ke masa universitas, saat perasaanku masih ringan, dan aku yakin suatu hari nanti semua ini pasti akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Di hadapanku, aku bisa memandang hamparan lautan lepas dan pergerakan awan secara bergantian. Terkadang, ketika langit rendah, aku membayangkan diriku berada di atas sana, berbaring di atas awan sambil mengamati pulau dan laut di bawahnya. Deburan ombak yang saling bersahutan seakan mewakili isi hatiku yang sedang berperang. Desiran angin yang membelai tubuhku, seakan mengerti apa yang sedang kurasa. Aku menikmati suasana yang indah dan damai ini. Alam Tuhan yang begitu sempurna.
Ada pula deretan tumbuhan-tumbuhan kecil hingga sedang yang memberikan perlindungan dari teriknya sang mentari. Tak jauh dari tempatku bersantai, ada satu pohon besar di antara tumbuhan-tumbuhan kecil yang seakan menjadi payung utama sekaligus sumber oksigen bagiku, sebuah keberuntungan lain lagi. Dengan begini, aku bisa bermalas-malasan sampai tulang-tulang persendianku terasa pegal sendiri.
"Kau selalu sendirian, ya?" Tiba-tiba ada yang menyapaku ketika aku sedang khusyuk-khusyuknya menikmati momen indah ini. Saat aku menaikkan wajah, Nguyen Lien Lie sudah melongokkan wajahnya. "Kau suka musik? Kau suka mendengarkannya sendirian?"
"Eh, ya?"
Aku tidak menyangka Nguyen Lien Lie berani menyapaku. Dia kan pendiam dan terlihat seperti kutu buku. Kalau begini aku jadi tidak bisa merasakan tidur-tidur koala, padahal aku ingin sedikit bersantai. Namun, pastilah ada sesuatu yang ingin disampaikannya padaku.
Mungkinkah soal penyelamatan di Pulau Komodo itu lagi? Atau jangan-jangan dia mulai jatuh cinta padaku, ya? Aku menerka-nerka dengan percaya diri.
"Ada perlu apa, Miss Lien Lie?" Aku langsung bertanya maksud dan tujuan Nguyen Lien Lie mendekatiku.
"Tidak apa-apa," jawabnya tenang, namun gestur tubuhnya yang sedikit kaku menggambarkan bahwa dirinya tidak terlalu percaya diri untuk mengobrol denganku. "Aku hanya ingin mengobrol saja."
"Oh, kalau begitu, duduklah di sampingku." Aku memutar tubuhku, lalu mengambil posisi duduk menyamping di hammock. "Mau ngobrol tentang apa?"
Nguyen Lien Lie duduk di sampingku, mengambil posisi seperti sedang menaiki ayunan bambu tradisional. "Tentang Quỳnh Trang Vinh."
Aku seperti sakelar yang ditekan, kedua bola mataku mendadak menjadi terang, lalu dengan sengaja dan perlahan aku menatap mata Nguyen Lien Lie berkaca-kaca. "Kenapa dia?"
"Dia sahabat terbaikku," katanya sambil menatapku berkaca-kaca. "Eh, bukan, ikatan di antara kami lebih dari sekadar sahabat, nyaris seperti saudara kandung."
Sorot mataku berubah sendu, lalu aku memicingkan mata, menanggapinya dengan serius. "Lalu?"
"Aku tidak ingin ada laki-laki yang mencintainya."
"Maksudnya apaan, sih?" Saking terkejutnya, aku nyaris jatuh dari hammock. "Dan kenapa kau membicarakan masalah ini padaku?"
"Aku sendiri juga bingung, tapi kau harus tahu tentang hubunganku dengan Quỳnh Trang Vinh." Nada bicara Nguyen Lien Lie tiba-tiba mendesak. "Dia tidak pernah mengalami kesulitan dalam berteman atau menjalin hubungan dengan laki-laki. Sahabatku itu adalah sosok yang sempurna sejak dulu sampai sekarang. Wajah yang cantik alami, tubuh yang sehat, maupun otak yang cerdas. Dia tidak pernah mengabaikan siapa pun. Lemah lembut dan bersahaja, serta suka menyenangkan orang lain. Sesuai dengan arti namanya."
Hening berkepanjangan muncul, sebelum kicauan burung gagak, kakatua berjambul kuning, dan burung endemik lain memecah keheningan itu. Hmm, di segmen ini aku harus banyak menyimak.