Adakalanya aku dibuat bingung oleh diriku sendiri. Entah karena cinta telah membutakan hatiku, atau karena hawa nafsu sudah mengontaminasi isi otakku, sehingga aku sering mengkhayal hal-hal di luar batas kewajaran. Bertemu dengan Quỳnh Trang Vinh, Yukiko, dan Natalia mungkin merupakan sebuah ketidaksengajaan yang indah. Hanya saja, hubunganku dengan cewek-cewek luar negeri itu bisa menjadi spesial atau tidak, itu tergantung bagaimana caraku menempatkan diri saat berada di dekat mereka.
Namun, ketika melihat Denis berusaha menggoda Quỳnh Trang Vinh saat gadis Vietnam itu sedang tidak bersamaku, hatiku mencelus. Melihat Aldi yang suka mengobrol dengan Natalia, hatiku pun tidak senang. Sementara itu, Adrian dan Gilang yang tidak terlalu agresif mendekati Quỳnh Trang Vinh, Natalia, ataupun Yukiko, kadang-kadang mereka berdua juga mencari kesempatan untuk mengobrol dengan ketiga 'bunga petualangan' ini. Usaha mereka sekilas mengganggu pikiranku dan membuatku mengeluh panjang.
Andai aku punya muka tebal dan pecicilan seperti Denis, atau muka tebal tapi kalem dan penyabar seperti Aldi, mungkin hasilnya sedikit lebih baik. Aku marah pada diriku sendiri yang kalah bersaing dengan rival-rival cintaku itu.
Aku paham cinta itu tidak boleh rakus. Akan tetapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa di dalam hatiku ada sedikit rasa dengki dan penyesalan. Meski begitu, aku tidak akan mundur. Cowok single berhak memilih dan merasakan banyak cinta. Toh, tidak ada yang melarangku untuk mencintai Quỳnh Trang Vinh, Yukiko, maupun Natalia.
Aku yang mulai merasa terancam, sejujurnya tidak memiliki rencana khusus untuk memenangkan pertempuran ini. Karena logikanya aku yang paling ganteng di sini seharusnya tidak boleh kalah dari mereka. Aku bisa saja melakukan banyak hal, entah itu secara sportif atau curang, tetapi aku hanya ingin menjadi teman perjalanan yang menyenangkan bagi Quỳnh Trang Vinh, Yukiko, Natalia, dan memegang teguh dua prinsip dasar: tidak bersikap kampungan dan tidak memperlakukan mereka layaknya seorang ratu. Namun, aku juga memiliki pekerjaan sampingan, yaitu membantu teman-teman baruku agar melanggar kedua prinsip ini.
Bagaimanapun juga, misi ini sama saja seperti menebar luka di hatiku. Kendati demikian, aku tidak boleh memikirkan perkara itu terus-menerus. Aku harus melakukan sesuatu yang produktif. Tanganku harus disibukkan.
Siang itu, aku bersama Denis dan yang lainnya mencari kayu bakar dan tumbuhan yang bisa dikonsumsi di hutan. Lelah mencari, aku dan Denis yang tubuhnya juga dipenuhi keringat duduk bersebelahan di bawah pohon besar sambil mengobrol. Awalnya kami mengobrol tentang kehidupan Denis dan teman-temannya. Jadi, setelah lulus kuliah, Denis langsung bekerja di perusahaan IT asal Taiwan yang membuka pabriknya di Jawa Barat. Adrian dan Aldi sama-sama alumni Universitas T-Com, Adrian sudah lulus terlebih dulu satu tahun dari Denis, sedangkan Aldi adalah senior mereka. Kalau Gilang, dia hanya lulusan SMK TKJ, tapi kemampuannya di bidang software sudah setara cracker yang hobinya mencuri data pelanggan di situs marketplace ternama. Namun, setelah bercerita tetang semua itu, Denis tiba-tiba diam, tatapannya kosong memandang langit.
"Denis! Kok murung begitu?" Aku merangkulnya dari sebelah kanan seperti induk ayam yang sedang merangkul anaknya. "Kau kenapa?"
"Mmm… tidak apa-apa." Cowok pecicilan itu masih memandang langit, membuatku berpikir barang kali dia jadi gila. Stres karena belum pernah merasakan kondisi survival mungkin akhirnya membuat Denis kehilangan kewarasan. "Aku hanya berpikir, padahal ingin sailing komodo selama satu hari, tapi malah terjebak di sini."
"Ah, begitu rupaya. Tapi dengan begitu, sisi positifnya kita jadi bisa saling mengenal orang-orang di sini, kan? Jadi teman, keluarga baru, bahkan mungkin bisa berjodoh dengan cewek-cewek luar negeri itu, hahaha!"
"Benar juga." Denis menyentuh bibirnya dan menunduk.
"Oh iya, kau tahu tidak, Quỳnh Trang Vinh adalah cewek yang perhatian dan lembut. Selain cantik, dia juga pintar dan bersahabat. Kupikir kau cocok dengannya." Aku mempromosikan kelebihan Quỳnh Trang Vinh dengan baik.
"Terus kau sendiri bagaimana?" Denis menatapku curiga. Hal yang wajar karena aku menghindari tatapan matanya ketika mempromosikan kelebihan Quỳnh Trang Vinh.
Betul, aku dan Quỳnh Trang Vinh adalah teman baru yang sering mengobrol, pasti menimbulkan banyak kecurigaan di mata orang lain.
"Dia bukan tipeku." Aku berbohong, namun aku harus bisa meyakinkan Denis bahwa kebohonganku ini terlihat serius di matanya. "Bagiku, dia terlalu cantik. Aku lebih suka cewek yang biasa-biasa saja, tapi lebih dikit, sih. Karena biasanya yang terlalu cantik sering nyakitin. Lagi pula, dia bukan orang Indonesia. Jauh, Bro! Aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh."
"Hmm, begitu, ya." Alasanku yang hampir masuk akal itu membuat Denis percaya. Dia berkata sambil memasang muka tak berdosa, "Tapi, sebenarnya aku lebih menyukai Natalia."
Berengsek! Dikasih emas malah minta Planet Jupiter ini orang! Tekanan darahku rasanya melesat naik begitu mendengar keinginan Denis yang serakah itu. Aku ingin sekali menghadiahinya sebuah pukulan peringatan sampai darah keluar dan menetes dari hidungnya. Suasananya mendukung sekali karena pemeran utama wanita tidak ada di sini. Jadi, aku tidak perlu berlaku protagonis.
Aku menarik napas panjang, mengatur emosiku, spontan memukul bahunya keras tapi kesannya bersahabat.