Hari pertama di Gunung Rinjani.
Desa Sembalun yang dingin dan damai saat itu hendak menyambut masa panen. Dari gerbang utama pendakian Gunung Rinjani, bukit-bukit di Sembalun telihat berkilau keemasan, kebun-kebun anggur warga berbuah lebat, dan bunga-bunga di tepi jalan seolah bergoyang-goyang menyambut kedatangan kami.
Tiga hari cerah di penghujung musim penghujan ini kelihatannya sudah mulai memancarkan energi musim panas. Hari itu seperti saat pertama kali aku mendaki Gunung Rinjani pada pertengahan Juni 2017 lalu, cerah dan kering pada pagi hari, panas pada siang hari. Kenanganku dengan faktor cuaca itu membuatku merasakan lagi kekuatan dahsyat yang telah membentuk bentang daratan ini.
Tidak ada pendaki satu pun di gerbang utama yang biasa dilewati pendaki lokal itu. Bahkan, di sepanjang jalur pendaki lokal sampai pertemuan dengan jalur pendaki bule, kami tidak bertemu seorang pun. Wajar, karena umat islam di Indonesia sedang memasuki bulan puasa, jadi seluruh gunung di Indonesia menjadi sepi. Ketika tak ada siapa pun sepanjang perjalanan ini, Gunung Rinjani jadi terasa mistis dan menakutkan, karena biasanya selalu saja ada pendaki lain yang sedang naik ataupun turun melewati jalur Sembalun.
Ini sungguh menakjubkan. Sebab, aku sama sekali tidak menyangka akan kembali mendaki Gunung Rinjani bersama pendaki pemula dari luar negeri yang baru kukenal selama beberapa hari. Terlebih lagi, kelihatannya mereka sangat memercayaiku. Hal ini membuatku berpikir, mungkin aku juga harus berkeyakinan seperti itu. Jadi, aku membiarkan Quỳnh Trang Vinh memimpin pendakian ini. Kemudian Nguyen Lien Lie berjalan di belakangnya. Dia bertugas menjadi penyambung lidah antara Quỳnh Trang Vinh dan aku. Sebagai guide dan sweeper, tugasku tak lebih dari penunjuk arah dan penanggung jawab tim—motivasi yang jauh lebih mudah daripada obsesi mencapai puncak.
Quỳnh Trang Vinh memang memiliki karisma seorang pemimpin, tapi dia tidak memiliki ketelatenan dan perencanaan matang seperti Nguyen Lien Lie. Quỳnh Trang Vinh bisa bergerak bebas karena dukungan dari Nguyen Lien Lie, sementara Nguyen Lien Lie merasa aman dan nyaman berada di dekat Quỳnh Trang Vinh. Mereka memang pantas disebut best friend forever. Dan aku mengagumi persahabatan mereka.
Ketika pertama kali bertemu, atau lebih tepatnya 'melihat' wajah Nguyen Lien Lie, kesan pertamaku adalah 'gadis lemah berkacamata' yang tidak bisa diandalkan. Namun, di dekat Quỳnh Trang Vinh ia seperti malaikat pelindungnya saja, menjelaskan dengan cekatan tips-tips pendakian gunung dengan raut wajah yang tegas. iPad yang digenggamnya menjadi sumber pengetahuan dan rencana-rencana matangnya dalam pendakian ini. Cewek itu bahkan sudah men-download peta satelit lengkap dengan track log-nya. Suatu hal yang tidak pernah kulakukan selama menekuni hobi pendakian gunung. Tadinya kukira ia hanya akan bertanya padaku tentang Gunung Rinjani dan mengikuti rencanaku, tapi kulihat ia juga punya rencana sendiri. Meskipun tidak membawa tenda, namun standar perlengkapan gunungnya sudah lumayan lengkap. Hal itu didukung logistik yang cukup 'mewah' dan bahkan bisa bertahan sampai satu minggu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau dia punya rencana sebaik itu, aku mungkin cuma dianggap porter.
Namun, aku paham. Nguyen Lien Lie yang cukup pintar pasti telah membaca banyak artikel referensi dan mengumpulkan riset. Ilham itu muncul karena ia telah mengetahui dasar-dasarnya. Sampai sekarang, sebenarnya berapa banyak usaha keras yang ada di baliknya?
Jika dibandingkan dengan Nguyen Lien Lie, sebenarnya aku juga tidak kalah cermat.
Saat dalam perjalanan menuju Pulau Kenawa, aku membuka Internet dan browsing untuk mencari informasi tentang pencegahan dan penanganan penyakit di ketinggian.
Dulu, aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku juga tidak pernah membaca tips-tips pendakian gunung, karena menurutku mendaki gunung seharusnya belajar langsung dari gunung dan mencari pengalaman itu sendiri. Jika membaca tips-tips pendakian itu, serasa tidak ada tantangan. Wajar saja jika dulu aku berpikir begitu karena aku masih bocah yang sombong dan terlalu percaya diri. Namun, setelah beranjak dewasa dan sekarang memiliki tanggung jawab akan keselamatan Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie, aku sudah browsing banyak hal tentang tips-tips pendakian gunung serta mengumpulkan banyak informasi tentang gunung Rinjani. Aku mempelajari pencegahan dan penanganan hipotermia, bahkan aku pernah membaca sekilas tentang penyakit-penyakit lain yang berpotensi besar menyerang setiap pendaki gunung—hipoglikemi, mountain sickness, radang dingin, dehidrasi, hingga angin duduk.
Apa Nguyen Lien Lie juga berpikir sejauh ini demi Quỳnh Trang Vinh—sahabat yang sangat dicintainya?
Sejujurnya, aku juga menaruh rasa curiga terhadap hubungan yang erat itu, bahkan melebihi hubungan persaudaraan. Quỳnh Trang Vinh bagaikan wonder women dan Nguyen Lien Lie adalah bayangan wonder women yang selalu mengikuti dan mendukung dari belakang.
Kalau Quỳnh Trang Vinh adalah sosok yang cantik dan berkemauan keras, Nguyen Lien Lie memancarkan aura sedih dan sepi. Dia pendiam dan sensitif. Meskipun dia rendah hati, tapi dia memiliki satu poros di dalam dirinya yang tak tergoyahkan. Dia bisa tersenyum di sebelah Quỳnh Trang Vinh, tapi saat Quỳnh Trang Vinh berada di dekatku, aku merasa Nguyen Lien Lie cemburu padaku.
Pendakian ini sudah berjalan selama satu jam lebih, tetapi keringat kami sudah membanjir. Terkadang kami berhenti untuk menyeka keringat di wajah sambil menyesap air mineral dalam botol untuk kesekian kali. Meskipun butir-butir keringat berkumpul di alis Quỳnh Trang Vinh dan napasnya jadi tersengal-sengal saat melewati jalur setapak yang berdebu, pesona outer beauty-nya tetap bersinar cerah. Selain energik, langkah kakinya ringan dan elegan seperti seekor burung bangau yang berjalan di atas lumpur. Saat melihat gayanya yang tampak begitu riang, tanpa sadar aku merasa lucu. Quỳnh Trang Vinh benar-benar lihai. Semangatnya semakin membara saja. Aku dan Nguyen Lien Lie pun tidak mau kalah.
Idealnya, waktu yang dibutuhkan dari gerbang pendakian sampai pos satu Gunung Rinjani adalah 60 menit. Medannya cenderung landai, dihiasi hamparan rumput tak bertepi yang hanya dibatasi bukit nun jauh di sana. Bahkan, ketika kami sampai di persimpangan jalur pendaki lokal dan jalur pendaki bule, kondisi jalurnya merupakan tanah kering dan batu kerikil. Maka tak mengherankan jika ada sepeda motor yang bisa melaluinya sambil membawa penumpang ataupun kebutuhan para pendaki.
Hal yang paling mengesankan menuju pos satu adalah sekumpulan sapi yang berkeliaran dengan bebas di sekitar jalur pendakian. Sapi cokelat dan sapi putih hidup berdampingan dan membentuk koloninya sendiri-sendiri. Masing-masing sapi cokelat mengenakan kalung yang ada loncengnya, sementara masing-masing sapi putih hanya mengenakan kalung berbeda warna: ada merah, biru, dan hijau. Meski demikian, mereka tampak merumput dengan rukun dan santai, meskipun setiap kami melewatinya terkadang sapi-sapi itu mengendus ke udara, tampak terganggu dengan kedatangan kami. Beruntung, ada penggembala sapi yang berjaga sambil membawa senjata api, jadi tim kecil kami tidak perlu takut.
Ada pula kawanan kuda liar yang sedang berkumpul mencari makanan di padang rumput di bawah bukit, membuat sabana tampak setitik hitam sejauh satu kilometer. Seekor kuda hitam gagah tampak berjaga, tidak lebih dari tiga puluh meter di depan tim pendakian kami. Binatang itu berdiri, nyaris setinggi dua meter dari kaki ke punuk. Ringkikan keras kuda itu semakin mempertegas kesan gahar dan tak bersahabat.
"Mereka hendak menyerbu ke sini." Nguyen Lien Lie memperingatkan.