Akhirnya, istirahat selama hampir satu jam itu telah usai. Kami melanjutkan perjalanan menuju rintangan yang katanya menjadi momok menakutkan bagi pendaki Gunung Rinjani: Bukit Penyesalan.
Kami tidak mampir di pos dua dan langsung melanjutkan perjalanan menuju pos tiga.
Nah, di jalur ini mulai terlihat banyak sekali pendaki asing yang mendaki Gunung Rinjani, bahkan bisa dibilang pendaki lokal sepertiku ini bagaikan hewan liar yang diasingkan ke pulau lain meskipun pulau itu masih tergolong habitatnya sendiri.
"Selamat pagi! Hari yang cerah! Semangat, ya!" Terdengar sapaan dari tim pendaki bule saat mereka hendak menyalip tim kami.
Sapaan seperti ini sudah akrab di kalangan pendaki gunung, tapi selalu saja bisa menghangatkan suasana.
"Selamat pagi juga! Tidak perlu tergesa-gesa! Di atas ada supermarket!" Aku membalas sapaan tim pendaki bule itu dengan frontal sehingga membuat semua orang tertawa.
Sejak beranjak dari tempat peristirahatan, kami terus mengikuti sebuah pola di peta pendakian gunung Rinjani via Sembalun. Selama ini, hanya itu pedoman utama kami—hanya tinggal menyusurinya. Semakin jauh kami meninggalkan pos dua, trek yang tersaji mulai menanjak, terus menanjak, dan nyaris tidak ada jalur landai. Jalur menuju pos tiga ini terdiri dari kombinasi tanah dan sesekali ada trek berbatu kerikil.
Quỳnh Trang Vinh masih memimpin pendakian ini dengan penuh energik. Ia memakai topi rimba berwarna krem sebagai pelindung utama dari teriknya matahari di ketinggian. Topi juga berfungsi sebagai pengecoh beberapa pendaki lokal yang sedang turun dan kebetulan berpapasan dengannya—Quỳnh Trang Vinh hanya perlu tersenyum manis dan beberapa pendaki lokal itu tidak akan tahu bahwa ia adalah orang Vietnam. Dan setiap kali berhasil mengecoh beberapa pendaki lokal yang menyapanya, ia menolehkan kepalanya padaku sambil tersenyum bangga.
Aku sangat menyukai udara di mana Quỳnh Trang Vinh berada di sekitarku. Yang utama adalah kenyamanan itu membuatku tidak ingin tergesa-gesa untuk melangkah dengan cepat.
Setelah trekking selama 2 jam lebih 30 menitan, kami tiba di pos 3. Di pos ini, Bukit Penyesalan sudah terlihat jelas dengan kemiringannya yang amat curam.
Rintangan selanjutnya adalah Tujuh Bukit Penyesalan yang termahsyur itu. Kendati demikian, kami bertiga tidak gentar dan berdiri di garis start Bukit Penyesalan dengan semangat patriotisme.
Tanjakan itu terlihat biasa saja, seperti tanjakan yang ada di gunung-gunung Pulau Jawa. Tapi, kenapa dinamakan Bukit Penyesalan?
Aku mendongak, menatap formasi pohon pinus yang menjulang hingga Plawangan Sembalun. Di sepanjang jalur tanjakan ini, beberapa pendaki lokal dan asing terlihat beristirahat di kanan dan kiri jalur karena kelelahan. Aku pernah melihat pemandangan seperti ini dua tahun yang lalu. Dan aku berhasil melewatinya dengan baik, tanpa beristirahat. Namun, sekarang aku mendaki bersama dua gadis Vietnam yang belum ku kenal dengan baik; fisik, mental, pengetahuan, dan pengalamannya di dunia outdoor. Jadi aku harus pasrah dan pengertian jika kemauan dan kemampuan mereka tidak sama dan sebaik diriku.
Itulah yang menjadi fokusku: bagaimana aku dapat membuat mereka menikmati pendakian ini satu langkah demi langkah. Aku sama sekali tidak bermaksud menjadi guide atau leader bagi mereka. Karena di setiap pos pendakian yang kami lewati, kami mendiskusikan sejumlah rencana utama, rencana cadangan, bahkan rencana emergency dalam banyak bagian.
Aku mengusulkan cara yang kuyakini akan berhasil, berdasarkan jam terbang dan pengalaman pendakianku selama ini, namun pembahasanku tentang rencana itu sering kali bersifat parsial dan kurang detail. Aku tidak merencanakan harus mengikuti teori dalam buku panduan pendakian gunung, juga uraian-uraian dalam buku itu yang memusingkan, lengkap dengan peta, grafik, estimasi waktu, dan hal-hal yang perlu dilakukan jika kita berada dalam keadaan darurat. Namun, yang kurencanakan di sini adalah sesuatu yang lebih simpel: jika lelah, berhenti, makan, minum, istirahat, lalu berpikir untuk lanjut atau tidak. Tak lupa kupaparkan kesulitan-kesulitan yang timbul akibat irama pendakian yang tak beraturan. Selain itu aku juga harus menjaga keharmonisan dan kekompakan tim kecil ini. Kalau ingin maju, majulah dengan penuh keberanian. Kalau ingin mundur, mundurlah dengan hati yang tulus tanpa harus menyalahkan siapapun.
Tiga puluh menit berlalu, kami sampai di tengah-tengah Bukit Penyesalan, namun wajah Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie terlihat kemerahan karena lelah. Mereka berjalan agak miring sampai tersandung dan hampir jatuh ke samping kanan. Untung saja aku sigap menahannya.
"Berhati-hatilah sedikit." Suaraku yang terdengar menyalahkan itu membuat Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie penasaran. Mereka mendongak untuk menatapku dengan sorot mata yang terlihat ketakutan sekaligus gelisah. Tiga pasang mata saling bertatapan secara bergantian. Sesaat kemudian, tahu-tahu gadis-gadis itu sudah merosot di tempatnya berdiri.