Angin pagi relatif tenang, suara hewan liar seakan ingin berdendang, lalu dahan-dahan pohon terlihat turut bergoyang.
Sambil merapikan kerah jaketnya, Quỳnh Trang Vinh mulai melangkah dengan dagu terkubur dalam-dalam di balik scarf, melewati jalur setapak berkelok-kelok yang dipenuhi pohon pinus. Dari sini medannya mulai bervariasi; berpasir, berumput, dan berbatu. Bersenjatakan ransel, headlamp, dan sebuah trekking pole, ia masih memimpin pendakian ini. Lalu, diikuti Nguyen Lien Lie yang berpenampilan sama seperti sahabatnya itu. Dan aku bertugas melindungi mereka dari berbagai mara bahaya.
Bicara soal mara bahaya, tiba-tiba bulu kudukku meremang, dan tanpa sadar aku bergidik. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena aku merasa ada embusan angin yang mengelus leherku. Mungkin kedengarannya aneh summit pagi-pagi buta, dalam dingin menusuk tulang yang tiada habisnya. Efek samping terberatnya adalah sering berprasangka buruk dengan keadaan sekitar yang gelap gulita, sehingga menyebabkan mental dan rasa percaya diri terjun bebas hingga titik terendah.
Selagi memikirkan hal-hal mistis, aku mendadak menyadari suara angin, namun aku bersikap tak acuh. Semakin lama, angin itu menerpa jaketku dari arah depan dan membuatnya berkibar-kibar. Upayaku beramah-tamah dengan dinginnya angin di pipiku terasa sia-sia, karena hawa dingin itu akan menjadi bagian kegiatan apa pun yang kami lakukan. Firasat buruk langsung menghantuiku. Aku lalu menenggelamkan kedua tangan ke saku jaket dan terus berjalan sambil agak membungkuk.
Aneh sekali, aku baru merasakan bunyi itu sekarang. Sesaat kemudian, tiba-tiba aku mendengar bunyi angin dengan jelas, seolah-olah pendengaranku menjadi lebih tajam dan sensitif berkat sebuah temuan baru. Ada yang tidak beres.
Kali ini aku tidak bisa mengacuhkannya begitu saja, jadi aku menerawang jauh ke sumber air untuk mencaritahu penyebabnya. Menurutku aneh bila angin yang tenang dapat menimbulkan suara. Sama halnya dengan air. Terlintas di benakku bahwa bunyi bukan dihasilkan oleh angin, melainkan terjadi kontak atau gesekan dengan objek yang menghalangi alirannya. Bisa jadi itu adalah kombinasi suara-suara angin, hewan liar, dan dahan pohon pinus. Meski begitu, suasananya tetap horor.
Ah, cuek saja! Fokus ke depan! Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, lalu kembali melanjutkan perjalanan sambil membaca ayat kursi, hehehe.
Aku sudah tertinggal cukup jauh dari Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie yang terlihat begitu ceria dan energik. Setelah menarik pengaturan daypack, aku berjalan cepat mendaki tanjakan miring berbentuk huruf S yang ada di hadapanku sambil melihat jauh ke arah jurang.
Aku sudah terbiasa melakukan summit attack sendirian—meskipun bukan berarti benar-benar sendiri karena gunung di Jawa banyak pendaki lain yang juga melakukan summit attack—sambil melempar pandangan ke segala arah. Tetapi entah mengapa kali ini aku merasa begitu takut. Dalam sekejap saja suasananya berubah menjadi mistis. Bahkan ketika aku hendak melangkahkan kakiku untuk menyusul Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie yang sudah berjalan cukup jauh di depan, kakiku terasa berat. Sialnya, aku merasakan dua sensasi penting di saat-saat krusial seperti ini: kedinginan dan kebelet pipis.
Kebutuhan jasmaniahku semakin mendesak, maka aku buru-buru mencari spot kencing yang aman dan menjauh dari jalur pendakian.
Sensasi dingin itu kian menusuk. Aku merasakannya lagi—firasat yang tak asing, yang membuatku merinding, seolah-olah kompresor kulkas mengeluarkan angin beku ke leherku. Entah itu suara lirih di antara embusan angin dengan pohon pinus atau perpaduan suara air dengan objek yang menghalangi alirannya, yang pasti seluruh otot tubuhku sudah menegang.
Kek kek kek kek kek....
Eh, suara apa itu? Aku tercegang sambil menjulurkan leher untuk mencari sumber suara. Burung hantu? Ah, yang benar saja!
Aku pernah mendengar suara-suara aneh saat trekking sendirian di tengah malam, tetapi tidak pernah merasa setakut ini. Ya Tuhan, kalau mengejutkan seperti ini, aku bisa mati karena kaget. Aku kan takut hantu.
Aku menunggu beberapa menit sambil memasang telinga baik-baik. Suara itu bertambah kuat dan berpadu dengan suara angin yang menerpa pohon pinus. Namun, tiada bunyi yang seperti pocongan atau kuntilanak.
Aku mengangkat kepala lalu menahan napas ngeri. Penasaran di gunung tengah malam begini demi mencaritahu sumber suara aneh sama saja dengan perbuatan bodoh.
Sudah lanjut kencing saja! Oleh sebab itu aku buru-buru mengenyahkan prasangka buruk itu.
Sewaktu kencing di samping pohon pinus yang besar, aku melempar pandangan ke berbagai penjuru. Mataku menyesuaikan diri terhadap kegelapan dan keadaan sekitar, karena merasa khawatir jika ada orang yang memperhatikanku dari kejauhan. Dan pada saat itulah aku melihat bayangan samar sesosok wanita dewasa berpakaian serba putih yang anggun nan cantik melayang turun menuju sumber air di Plawangan.
Cewek pribumi atau cewek bule, ya? Mataku membulat. Aku sangat penasaran.
Bayangan putih itu melangkah turun perlahan.
Siapa, ya? Berani banget berjalan sendirian tengah malam begini. Jangan-jangan….
Aku memutar pengaturan zoom headlamp-ku ke arah bayangan itu dan berusaha mengamatinya dengan seksama. Saat bayangan itu terkena cahaya headlamp, dia berhenti dan menolehkan pandangannya padaku, sehingga aku pun bisa melihat wajahnya. Lama berselang, barulah aku terkejut. Sesosok wanita dewasa berpakaian serba putih yang anggun dan cantik itu adalah….
Dewi Anjani? Aku menelan ludah, lalu membetulkan posisi celana dalamku.
Sosok wanita yang kemarin siang Nguyen Lien Lie tanyakan padaku. Sang permaisuri penguasa jin di Gunung Rinjani.
Tidak mungkin! Aku memicingkan mataku sekali lagi. Namun, tiba-tiba bayangan putih itu menghilang disapu angin kencang yang lewat hingga menerbangkan dedaunan ke udara, hampir mirip seperti fenomena angin puting beliung yang menyapu bersih apa saja di hadapannya.