Miss Travel Beauty

Luca Scofish
Chapter #28

Tragedi Jalur Berpasir

Setengah jam kemudian, kami sudah sampai di batas vegetasi. Suhu udara naik secara drastis seiring kami menjauh dari area vegetasi, tetapi angin kencanglah yang membuatku resah. Angin seakan-akan membekukan tulang-tulangku, lalu mempengaruhi kinerja sistem syaraf, sehingga membuatku sulit berpikir jernih. Pada awalnya aku merasakan sensasi gigitan menusuk pada pipi, hidung, dan mataku yang terbuka. Angin memaksa air mataku keluar, sedangkan hidungku yang meler menyisakan kelembaban di kulit, alhasil memperparah sensasi menggigil. Sementara aku tersaruk-saruk pasir yang kian dalam, sensasi menusuk lambat laun digantikan oleh rasa ngilu dan perasaan menyesal yang dalam. Ah, enakan di dalam tenda bersama Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie.

Suhu dingin yang menusuk itu kini mulai menjalari tubuhku, membuat pundakku menggigil dan berjengit. Aku menyempilkan tangan ke saku jaket untuk menciptakan rasa hangat. Sayangnya, aku tidak bisa mengenyahkan hawa dingin yang menembus jaketku, tetapi gerakan konstan setidak-tidaknya terus memacu aliran darahku. Karena angin semula berembus di vegetasi sebagai serpihan-serpihan belaka, aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Sekarang aku menyadari kekeliruannya.

Beberapa kali angin hampir menerbangkan topiku, membuatku mundur beberapa langkah. Aku mengencangkan kaos tangan, resleting jaket, hingga beannies dan mengencangkan hoodie untuk menutupi kuping, tapi masih merasa dingin. Kalau begitu badan tidak akan menjadi hangat. Solusi terbaiknya terus bergerak supaya jantung bekerja lebih keras sehingga bisa menghasilkan keringat. Namun, medan yang tersaji di depan terus menanjak dan tidak ada bonus berupa jalur landai sedikit pun. Kondisi trek berbatu bercampur pasir dan kerikil halus, yang kalau kita melangkah sekali, bisa saja merosot beberapa langkah ke bawah. Pokoknya rintangan ini lebih sulit dibandingkan dengan ikan salmon yang berenang melawan arus.

Kami harus berjalan susah payah demi mengarungi pasir itu. Beberapa lapis butiran pasir menyokong tiap langkah kami selama sesaat, tetapi kemudian aku melihat kaki Nguyen Lien Lie menerjang salah satu lapisan tersebut dan malah terperosok sampai jalur sebelah kiri. Beberapa gundukan pasir bahkan mencapai sepuluh centi meter di atas mata kaki. Pokoknya satu meter rasanya seperti sepuluh meter. Tiga kali kami harus berhenti untuk beristirahat. Setiap tarikan napas seperti memarut tenggorokan kami. Ini sangat menjengkelkan, tapi juga sangat seru dan menantang.

Saat aku melangkah maju, sesuatu bergejolak di dalam dadaku. Udara malam seakan-akan menggigit paru-paruku setiap kali aku bernapas. Aku merasakan dorongan untuk batuk, lalu menghirup napas dari mulut dan mengencangkan otot-otot tenggorokan, dada, hingga perutku untuk menahannya. Staminaku sudah terkuras karena pendakian ini, jadi siklus irama napasku pun tidak normal lagi. Dan meskipun sudah berusaha mencegahnya, batuk tetap menyerang. Hanya saja aku merasa kondisiku masih cukup fit.

Kemudian, aku memperhatikan Quỳnh Trang Vinh yang juga terlihat merasa kedinginan. Walaupun dia mengenakkan style pendakian gunung lengkap dengan aksesoris seperti kaos tangan, scraft rajut, hingga topi kupluk, namun suhu di luar batas vegetasi hampir mendekati 0 derajat celcius.

Tiba-tiba Quỳnh Trang Vinh batuk. Ekspresinya yang selalu tampak tenang itu mendadak terlihat sedikit linglung dan tidak fokus. Ia meringis menahan pedih, seperti berusaha mengeluarkan kail pancing yang tertancap dalam. Mungkin rasanya seperti ada sesuatu yang menarik organ dalamnya dari kerongkongan.

Merasa khawatir dengan keadaannya, aku pun langsung menghampirinya.

"Miss Vietnam tidak enak badan, ya?" Aku bertanya dengan suara pelan.

"Tidak, tidak! Aku baik-baik saja." Quỳnh Trang Vinh menyahut dengan nada tinggi dan nampak marah. Wajahnya yang putih dalam sekejap berubah menjadi merah seperti orang yang terkena demam. Meski begitu, wajahnya jauh dari membosankan. Aku tidak akan pernah merasa bosan memperhatikan perubahan raut wajah cewek ini.

"Kalau memang tidak enak badan, istirahat saja dulu. Lagi pula, puncak masih jauh. Nikmati saja setiap jengkal langkah yang kita buat." Aku memiringkan wajahku lalu tersenyum bersahabat.

"Tidak perlu, aku baik-baik saja, Rick! Sungguh!" Quỳnh Trang Vinh menunjukkan senyum yang dibuat-buat padahal jemarinya gemetar karena kedinginan.

Aku yang lebih tinggi 10 cm dari Quỳnh Trang Vinh membungkukkan tubuhku lalu memerhatikan sorot mata dan ekspresi wajahnya yang sendu. "Tapi, mata dan wajah Miss Vietnam merah sekali."

"Apakah terlihat separah itu?" Kali ini aku merasakan napas berat Quỳnh Trang Vinh saat berbicara, seakan-akan setiap tarikan napas menghabiskan seluruh kekuatan yang tersisa dalam tubuhnya.

"Iya, separah itu." Aku mengangguk, posisi kepalaku jauh di atas Quỳnh Trang Vinh.

"Begitu, ya? Kelihatan sekali, ya?" Dia mengembuskan napas panjang-panjang dan napas itu terlihat berembun di udara malam dingin, sementara angin beku menerpa wajahnya samar-samar.

"Sampai ada kantong di bawah mata begitu. Kumohon, istirahat saja dulu, karena wajah seperti itu hanya akan membuat pendaki lain ketakutan. Lagi pula, kalau Miss Vietnam jatuh pingsan sekarang yang kerepotan adalah aku dan Miss Lien Lie." Aku menyampaikan alasan dengan nada penuh penyesalan, namun aku sadar hal ini tidak memberikan pengaruh apa-apa pada kondisinya. "Lima belas menit kurasa cukup. Kalau nanti sudah baikan, aku ingin Miss Vietnam mendaki seperti kuda yang dilecut saat balapan."

"...." Quỳnh Trang Vinh menatapku dengan ekspresi mata yang setengah terbuka, seperti temaram bulan yang tidak sempurna.

Aku tidak memedulikan napasku yang mulai terengah-engah, namun aku malah sibuk memerhatikan dan membenarkan ekspresi Quỳnh Trang Vinh dengan menyentuh dahinya.

"Cewek aktif dan atraktif sepertimu tidak seharusnya menunjukkan ekspresi lemah seperti ini." Aku berkata sambil memegangi dadaku. Entah kenapa suaraku agak serak. Mungkin karena aku merasakan nyeri yang menusuk di dadaku.

Raut muka lemas belum hilang dari wajah Quỳnh Trang Vinh. Aku membalikkan badan dan menatap Nguyen Lien Lie. "Hei, naiklah! Ayo, semangat!"

"Aku tidak apa-apa." Nada suara Nguyen Lien Lie lirih, seperti ditelan udara dingin dalam sekejap mata.

Aku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiranku saat mendengar suara lirih gadis itu yang tidak nyambung dengan perkataanku. Tanpa pikir panjang, aku langsung melangkah turun untuk memeriksa keadaannya. Dia sepucat hantu—lemas sekali. Butir-butir keringat terlihat dari seluruh pori-pori wajahnya. Aku bisa merasakan aura dari dalam badannya yang seolah diselimuti oleh rasa dingin jahat itu. Seluruh darahnya seperti pindah ke permukaan tubuh.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku sambil memegang bahu Nguyen Lien Lie.

"Tidak apa-apa aku." Gadis itu terlihat kacau—linglung dan tidak fokus. Tempo bicaranya lambat dan terbalik-balik. Dia juga mengucapkan hal yang sama berulang-ulang.

Lihat selengkapnya