Miss Travel Beauty

Luca Scofish
Chapter #29

Perdebatan Sengit

Rasa kantuk perlahan-lahan tersapu oleh angin dingin. Malah, rasa kantuk itu digantikan oleh rasa antusiasme untuk melihat sunrise secepatnya. Meski begitu, melanjutkan pendakian ini berarti memaksa kami untuk tidak hanya membutuhkan keberanian, tapi tentu saja melakukan perhitungan dengan pintar.

Penyangkalan, amarah, tawar-menawar, keputusasaan, aku tidak yakin bisa memotivasi Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie untuk terus melanjutkan perjalanan ke puncak. Meskipun pada titik tertentu aku bisa melawan keraguan itu dan berbicara padanya dari hati ke hati, berharap bisa mengangkat mental dan menyulut kembali kobaran api semangat dalam jiwanya yang telah padam.

Dan kupikir, inilah penerimaan yang memungkinkanku menemukan gagasan yang sangat konyol untuk mengikat tali paracord sepanjang lima belas meter ke tubuh Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie. Formasi jaraknya: 5-5-5 meter.

Sebenarnya itu adalah tali untuk konsep hammock camping. Total panjangnya 50 meter, namun untuk hammock camping aku hanya membutuhkan 30 meter saja—10 meter untuk menopang flysheet dan 2 x 10 meter yang lain masing-masing untuk mengikat ujung hammock ke pohon. Konsepnya menyesuaikan kondisi di lapangan, dan biasanya aku melipatnya menjadi dua lapis agar mendapat peregangan yang lebih kuat.

Strategi yang cukup jitu dan aman. Sekarang aku menjadi lebih tenang, bijaksana, dan yakin kami bisa menggapai Puncak Dewi Anjani.

Firasatku mengatakan bahwa yang kulakukan saat itu benar. Aku berharap membuat keputusan yang tepat. Dengan begini, aku bisa melindungi Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie secara bergantian.

Aku diam-diam berharap diriku membuat keputusan yang benar. Baik untuk diriku sendiri maupun kedua partner pendakianku.

"Wah, keren sekali. Sejak kapan kau mempelajari keahlian seperti ini? Atau jangan-jangan kau mantan anggota Klub Pecinta Alam, ya?" Nguyen Lien Lie melempar pertanyaan tanpa basa-basi setelah aku mengikat tali paracord mengelilingi lingkar pinggang celana gunungnya dan membuat simpul marlin spike hitch di ujung sabuknya.

Mendengar pujian itu, aku tersipu dan merasa sedikit bangga. "Tidak, kebetulan saja ide itu tercetus."

"Ah, serius? Aku tidak percaya." Seperti biasa Nguyen Lien Lie menuntut jawaban yang masuk akal dan detail.

"Hehehe, sebenarnya aku hanya membaca di internet dan menonton Youtube, lalu mempraktekkannya terus-menerus saat camping di tepi pantai atau lereng gunung." Aku menjawab dengan acuh tak acuh, tapi yang terucap justru perasaan bangga.

"Betul. Orang bisa melakukan sesuatu karena terbiasa melakukannya, kan?" Quỳnh Trang Vinh tiba-tiba ikut terhanyut ke dalam obrolan ini.

"Ya, makanya berlatih itu penting, karena ketika kita berhasil melakukannya sekali, belum tentu dalam percobaan kedua kita juga berhasil. Jika pun berhasil melakukannya dalam percobaan kedua, belum tentu bisa melakukannya dengan cekatan untuk kali ketiga." Sampai tahap ini aku malah merasa jadi pelatih gaek yang sudah mendapat gelar master. "Intinya pahami konsep yang digunakan. Catat setiap pencapaian. Ingat setiap kegagalan. Ambil pelajaran itu. Lakukan perbaikan pada teknik dan konsep yang diterapkan walaupun tidak sama persis dengan cara kebanyakan orang. Jika prosesnya benar lama-lama otak kita akan membentuk rasa optimisme dan motivasi diri. Sementara memori otak kita akan merekam bagaimana teknik dan kecekatan yang dibutuhkan supaya berhasil menguasainya dengan baik."

"Jika pendidikan tidak pernah kau rasakan, bukankah pengalaman adalah mutiara yang diakui semua orang?" Suara halus itu meluncur dari bibir Nguyen Lien Lie yang gemetar.

"Hmm, begitu ya." Aku tersipu, lalu mengalihkan fokus untuk mengikat tali paracord yang sudah tersambung dengan carabiner ke sabuk Quỳnh Trang Vinh.

"Waaah… hebat! Safety!" Quỳnh Trang Vinh terlihat takjub. Sembari menepuk punggungku, dia berkata, "Dengan ini aku bisa mengandalkanmu. Kalau kau terus mendukungku, aku pasti berhasil sampai puncak."

"Benarkah?" Wajahku yang tadinya datar kini jadi semringah.

"Tentu saja."

"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan perjalanan ini secara perlahan."

"Siap!"

Quỳnh Trang Vinh mengatakannya sambil tersenyum, tapi dibalik senyuman itu tampak keraguan. Aku tidak tahu harus terus mendukungnya atau tidak. Selain merupakan salah satu bagian dari tanggung jawabku akan keselamatannya, hal tersebut juga merupakan fakta yang menyatakan bahwa saat ini aku lebih bisa diandalkan, dibandingkan dengan Nguyen Lien Lie yang tidak memiliki pengalaman pendakian gunung dan fisik yang kuat.

Lihat selengkapnya