Ini terlalu sulit. Aku tidak menyangka akan kesulitan membujuk Quỳnh Trang Vinh untuk mengiyakan permintaanku. Dia ternyata memiliki tekat yang terlalu tinggi. Sementara yang ingin kulakukan sekarang hanyalah memastikan keselamatan Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie. Namun, apa boleh buat, lawan debatku adalah seorang nenek sihir yang cerewet. Berbagai macam cara sudah kulakukan untuk membujuk nenek sihir itu, namun hasilnya tak sesuai harapanku. Dan bila kami memutuskan terus mendaki pada tahap ini, berarti kami memaksakan diri menerjang batas-batas kemungkinan, sehingga kami hanya bisa mengandalkan keberuntungan semata.
Perlahan, angin mulai bertiup dengan lembut. Langit timur bependar samar-samar ketika Quỳnh Trang Vinh berhenti di tengah-tengah jalur yang berbentuk letter S. Dalam keremangan menjelang fajar, dia melanjutkan langkahnya menyongsong puncak yang perlahan-lahan diterpa pendar hari baru. Meskipun masih terasa dingin, batu-batu yang tadinya basah dan dipenuhi bulir-bulir embun kini mulai mengering. Di atas awan, burung-burung satwa endemik penghuni Gunung Rinjani terlihat menari-nari di angkasa, pertanda pagi yang cerah. Beberapa bahaya yang mengintai kami sudah kehilangan semua momentumnya. Puncak Dewi Anjani pun mulai terlihat jelas dan bersinar, seolah tidak sabar menunggu kedatangan kami untuk menginjakkan kaki di titik tertingginya.
Quỳnh Trang Vinh menatap jarak antara puncak dan tempat kami berdiri. Senyumnya kembali merekah, merah merona bibirnya pun kembali cerah. Aku yakin api semangat dalam hatinya kembali menyala, menyelimutinya seperti api yang menghanguskan pucuk pohon pinus.
Semakin tinggi mendaki, semakin mengerikan kami melihat jurang di sisi kiri; namun semakin sering kami melihat jurang itu, semakin takut kami untuk melangkah maju. Yang paling baik adalah terus menatap ke atas tanpa menoleh ke mana pun.
Sebuah formasi bebatuan kecil bersisi tajam menghiasi puncak lereng yang terjal. Puncak lereng itu membentuk tembok tinggi yang di bawahnya ada jalur bercabang dua dan sama-sama mengarah ke Puncak Dewi Anjani, hingga seakan-akan membentuk tikungan tajam dengan kemiringan yang esktrem seperti lintasan di World Rally Championship.
Setelah itu, barulah cahaya matahari mulai bersinar secara perlahan. Pupus sudah harapan kami untuk menikmati pemandangan sunrise dari puncak. Sunrise itu muncul ketika kami berada di ujung titik jalur letter S, jalur yang mampu membuat napas terengah-engah dan jantung berdetak kencang bagi siapa pun yang sedang berjuang menggapai puncak Dewi Anjani. Para pendaki yang pernah merasakan momen itu pasti di dalam hati kecilnya ada sedikit perasaan menyesal dan merindukan momen saat rebahan di rumah sambil menikmati masakan ibu. Untungnya, tim kecil kami menunjukkan perkembangan yang positif.
Haiya!
Quỳnh Trang Vinh menarik pengaturan shoulder strap ranselnya, melesat maju dengan auranya yang seakan tidak terkalahkan oleh ribuan musuh. Sepertinya ia tidak akan kalah, karena tekatnya yang sekuat baja terus bertahan sampai sekarang ini. Perempuan yang tangguh dan pantang menyerah.
Kalaupun Quỳnh Trang Vinh sedang dirongrong rasa ragu, gerakan tubuhnya yang santai dan terus mempertahankan irama gerakan itu, ia sama sekali tidak memperlihatkan kelemahan.
Dari kejauhan, terlihat satu per satu tim pendaki di depan kami berhasil melewati rintangan dan tersenyum bahagia setelah berhasil menggapai puncak Dewi Anjani. Sementara itu, jauh di belakang kami, terlihat beberapa tim pendaki yang terus berjalan secara perlahan. Namun, di antara mereka, ada beberapa orang yang beristirahat, ada juga yang kembali turun.
Nguyen Lien Lie mulai bergerak, mengembuskan napas yang mengepul tebal ke udara, seiring dengan pergerakan dadanya yang naik-turun.
Kuharap tidak ada masalah serius. Aku memperhatikan Quỳnh Trang Vinh yang terus menatap puncak Dewi Anjani dengan sangat serius.
Kemudian, dengan tertatih-tatih ia terus melangkah. Jatuh, bangun, berkali-kali, terus begitu, sekuat tenaga. Seolah ia sedang melihat seluruh impiannya di puncak Dewi Anjani.
Seperti itulah.
Mendaki gunung ibarat olahraga yang membidik langit. Para pendaki gunung berjuang dari titik terendah hingga titik tertinggi; melewati berbagai rintangan yang membahayakan dirinya sendiri atau anggota timnya. Saat pagi yang cerah, siang yang terik, sore yang sejuk, hingga malam yang dingin, mereka terus menatap langit. Padahal langit bisa dilihat dari berbagai sudut di belahan bumi mana pun. Namun, perjuangan menatap langit dari titik tertinggi terasa seperti kita sedang bersilaturahmi dengan langit. Hubungan manusia di bumi dengan langit jadi seperti saudara. Dengan kata lain, olahraga mendaki gunung adalah esensi pertemuan manusia dengan langit, atau bahkan dengan Tuhannya.
Pepatah Arab mengatakan: Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.