Plawangan Sembalun, perjalanan turun ke Danau Segara Anak.
Angin kencang yang diiringi kabut tebal menyebabkan cakrawala terkesan lebih dekat dan membuat bukit di Plawangan Sembalun menghilang di baliknya. Bersamaan dengan kejadian itu, suhu turun dengan cepat. Untungnya, aku samar-samar masih bisa melihat dinding-dinding batu kokoh di sisi kiri dan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi di sisi kanan—seratus meteran dari tempatku berdiri, nyaris tidak terlihat di balik kabut tebal yang terbawa angin. Hanya itu. Pemandangan di depan bahkan seperti lebur ditelan kabut tebal itu. Aku bersyukur setidaknya membawa peluit yang terpasang di strap holder ranselku bersama dengan carabiner. Hal serupa juga kuterapkan di strap holder Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie supaya kami bisa berkomunikasi menggunakan sandi morse, meskipun tidak menguasainya dengan cukup baik.
Di samping hamparan bebatuan curam yang menyelimuti tanah itu, terdapat sebuah jurang di sisi kirinya, dan di sisi jurang tersebut terdapat banyak jalur air hujan. Jalan itu sangat panjang, berbahaya, jadi harus ekstra hati-hati. Jika kita tergelincir sedikit saja pasti dalam masalah besar, bahkan mungkin bisa berakhir dengan kematian.
Aku mengeluarkan kamera mirrorless dari hardcase-nya dan memotret sejumlah pemandangan muram nan kacau yang dihiasi dinding batu raksasa. Cahaya di sekitar sangat buruk, namun aku tetap saja mengabadikannya. Aspek paling mengerikan dari jalur ini adalah para pendaki harus melewatinya supaya bisa mencapai Danau Segara Anak dari Plawangan Sembalun.
Jalan yang tidak jelas tersebut menjadikan bebatuan curam, cadas, tajam, berkelok zig-zag, hingga jarak pandang yang buruk akibat kabut tebal sebagai ciri khasnya. Kuberi tahu Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie kekhawatiran-kekhawatiranku, segala bahaya yang mengancam, terutama kekhawatiranku yang berhubungan dengan kaki yang tergelincir. Kami sudah berjalan dengan hati-hati melalui jalur ekstrim itu, menjejakkan langkah demi langkah dengan halus, tetapi kami berkali-kali terpeleset batu-batu yang licin—teksturnya halus menyerupai batu kali. Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie bahkan harus mengarunginya dengan berjongkok, kadang juga bertumpu menggunakan pantat dan kedua tangannya.
Meski begitu, sepertinya banyak orang yang terpacu adrenalinnya melewati rangkaian bebatuan ini. Banyak orang yang sudah mendiskusikan kengerian perjalanan turun ke danau maupun perjalanan naik dari danau yang sama-sama menguras waktu, padahal di kedua sisi jalan telah dipasang papan peringatan, 'Hati-hati! Rawan tergelincir!', tapi sepertinya tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Pada awalnya aku tidak mempercayai pendapat orang-orang di internet yang mengatakan bahwa medan turun ke danau ini sangat ekstrim, dan menganggap ceritanya terlalu dilebih-lebihkan. Biar bagaimanapun, mereka sudah terbiasa bercerocos bombastis selagi bertukar cerita sambil rebahan di atas kasur dan menulis komentar dengan smartphone-nya. Namun, ternyata gambaran itu memang betul dan sesuai fakta. Aku kesulitan membayangkan seberapa besar kadar kerja kerasku memandu Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie untuk melalui rintangan yang harus dilewati ini.
Berbeda dengan perjalanan ke puncak yang disuguhi rintangan berpasir—sekali melangkah bisa turun tiga langkah— rintangan turun ke danau jauh lebih berbahaya, apalagi jika ada kabut tebal yang melintas hingga membuat jarak pandang hanya sebatas teman.
"Hati-hati, jangan terlalu jauh dariku!" Aku memberikan peringatan kepada Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie yang berada di belakangku dengan suara keras. "Jika kabut ini bertahan lama dan kita tidak bisa melihat apa pun, gunakan peluit yang terpasang di strap holder tas kalian untuk berkomunikasi!" lanjutku.
"Iya, Rick, kami mengerti." Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie memang cerdas.
Kadang-kadang sambil mengobrol tentang hal itu, kami melihat ke belakang seolah tak percaya bisa melewati rintangan tersebut, selangkah demi selangkah. Aku terperangah, Nguyen Lien Lie diam saja, sementara Trang Vinh tak henti membanggakan dirinya, bertiga kami fokus pada tempat kami berada dan apa yang kami kerjakan dalam dimensi dunia vertikal.
Kami sudah berjibaku dengan bebatuan cadas itu selama dua jam lebih ketika melihat jalur setapak yang mulus. Begitu menemukan tempat istirahat yang sejuk, kami langsung melempar ransel dan merebahkan diri sambil makan sandwich, sosis, dan cemilan.
"Ya Tuhan, turunan setan itu lebih cocok digunakan untuk pelatihan dasar bagi pemanjat pemula," keluh Quỳnh Trang Vinh.
"Betul." Nguyen Lien Lie menimpalinya sambil mengusap-usap celananya yang kotor karena debu. "Jantungku sampai berdetak sepuluh kali lipat dari biasanya."
Aku berpikir sebentar dan kemudian ikut nimbrung, "Setelah rintangan berbahaya itu berakhir, kondisi jalur menuju danau relatif mudah, hanya saja berganti-ganti naik, turun, serta menikung. Tetap semangat, ya!"
"Tapi aku bisa melewati rintangan itu meskipun harus bersusah payah." Quỳnh Trang Vinh berdiri dengan wajah berbinar-binar selepas melakukan tindakan heroik, menanti pujian atas perbuatannya yang gagah berani.
Aku hanya melihatnya sekilas sebelum berdiri dan berkata, "Yuk, jalan, Miss Lien Lie!"
Sepanjang perjalanan turun menuju danau, Nguyen Lien Lie tampak seperti biasanya, hanya terkadang terlihat sedang melamun. Sementara Quỳnh Trang Vinh, ekspresinya berubah 180 derajat—dia tampak bagaikan ratu kegelapan yang berhasil mendapatkan jiwa sang pahlawan.
Begitu sampai di Danau Segara Anak, kami berniat mendirikan tenda di bibir danau supaya bisa melihat keunikan Gunung Barujari setiap saat. Hanya saja, begitu melihat pemandangan danau itu beberapa meter dari bibirnya, Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie tercegang, lalu berdiri di atas pohon tumbang dan sekonyong-konyong mematung sambil menyipitkan mata untuk memahami pemandangan di hadapan mereka.
Seolah menyatukan bumi dan langit, anak Gunung Rinjani itu menjulang di hadapan kami. Awan-awan menggumpal di atas puncaknya, matahari menjelang sore hari bersinar cerah menciptakan keindahan alam maha cantik, menyempurnakan ilusi gunung berapi yang terpampang seutuhnya. Cukup disayangkan karena tak seorang pun berdiri di sana untuk menyaksikannya. Saking takjub melihatnya, mata Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie berair karena terkena cahaya matahari yang memantul dari air. Meski begitu, mereka tidak berpaling. Sambil mengunyah permen karet, mereka masih menerawang Gunung Barujari. Dengan matanya yang tajam, mereka menelusuri gunung itu hingga seolah menembus intisarinya. Danau yang bersih dikelilingi pepohonan hijau berpadu dengan gunung berapi kecil yang berlatarkan langit biru cerah memesona. Sepertinya ini adalah pengalaman pertama cewek-cewek Vietnam itu melihat dari dekat gunung di atas gunung.
"Kalian bisa mendaki ke sana jika mau," kataku sambil naik ke pohon tumbang itu dan berdiri di samping Quỳnh Trang Vinh. "Mendaki dan menyentuh cakrawala, kemudian mengambil foto kalian berlatarkan kawah dan pasir hitamnya. Tapi—"
"Tapi apa?" tanya Nguyen Lien Lie penasaran.
"Ada gas beracunnya," tukasku sambil melirik Quỳnh Trang Vinh.
"Auto menghadap Tuhan, dong!" Quỳnh Trang Vinh mendengus kesal.
"Nah, itu dia risikonya." Aku menoleh pada Nguyen Lien Lie, lalu kembali menatap puncak Gunung Barujari. "Selain itu, kalian harus mengerti betapa cepat keindahan alam yang diperlihatkan awan-awan di atas gunung bisa berubah menjadi hujan badai mematikan. Kendati tipis, kabut ramah yang menyelimuti puncak itu berpotensi menyebabkan para pendaki tersesat dan tak pernah terlihat lagi."
Ekspresi Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie yang semula ingin tertawa pun menjadi sangat serius.
Hari itu penuh dengan petualangan dan misteri; memancing ikan, mengejar angsa, dan mandi di aliran air terjun hangat yang auranya sangat mistis. Konon katanya, dulu ada seorang pendaki wanita yang ditemukan meninggal dunia karena tenggelam di pemandian air hangat itu, padahal sungainya dangkal.
"Ah, perutku lapar."
Aku dan Nguyen Lien Lie saling pandang mendengar kalimat pertama Quỳnh Trang Vinh.
"Duh, kau ini padahal sudah menyantap satu sandwich dan dua sosis waktu istirahat di pos bayangan, tadi." Nguyen Lien Lie menggerutu.
"Iya, nih. Miss Vietnam rakus." Aku menimpali.
"Habisnya aku kecapekan mengejar angsa yang berenang ke tengah danau, tadi." Quỳnh Trang Vinh menepuk perutnya yang baru kenyang makan tapi masih tampak rata.
Tentu saja, angsa yang dilepaskan oleh warga Bali sebagai bagian dari ibadah keagamaan mereka di Danau Segara Anak sangat lucu dan menggemaskan. Quỳnh Trang Vinh berniat menangkapnya dan mengolahnya menjadi sate angsa. Sayangnya, angsa itu berhasil kabur ke arah Gunung Barujari.
"Yah, mungkin itulah yang membuatmu begitu imut dan menggemaskan di mata para lelaki," ujarku sambil menepuk pundak Quỳnh Trang Vinh dengan santai.
"Kalau begitu, ayo kita memasak menu istimewa untuk merayakan petualangan pendakian Gunung Rinjani yang tak terlupakan ini?!" saran Nguyen Lien Lie sambil menyeka keringat di poninya dengan sapu tangan.