Hari ketiga di Gunung Rinjani.
Matahari pagi berada di ujung timur danau. Sinarnya yang terlihat malu-malu kucing menghiasi gelombang-gelombang kecil air, kemudian seakan disapu oleh angin, sehingga terlihat seperti lautan tarian cahaya.
Sambil menikmati suasana syahdu itu, aku bersama Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie menikmati kopi luwak putih sambil melihat beberapa tim pendaki lokal yang sedang memancing dengan santainya.
Setengah jam kemudian, kami sarapan pagi dengan menu nasi goreng telur campur sosis sapi. Selesai makan, kami packing, lalu bersiap untuk perjalanan turun. Namun, dilema menimpa tim kami—bingung ingin turun via Sembalun, Senaru, atau Torean. Kalau turun via Sembalun lagi, kami harus naik ke Plawangan Sembalun. Jika turun via Senaru, kami juga harus naik ke Plawangan Senaru. Medan kedua jalur itu sama-sama mengerikan dan berisiko tinggi. Namun, jika kami turun via Torean, kami tidak perlu naik ke Plawangan Sembalun ataupun Plawangan Senaru. Hanya saja, konon katanya jalur Torean dianggap sakral, sangat rawan, dan penuh aura mistis.
Saat kami sedang berdebat dan voting, tiba-tiba ada dua orang pendaki laki-laki yang menyapa kami.
"Mau turun sekarang, ya?" Pria dewasa yang berambut ikal dan membawa carrier 60 liter bertanya sambil melontarkan senyum bersahabat.
"Iya, Bang. Tapi masih bingung mau lewat Sembalun, Senaru, atau Torean," jawabku malu-malu.
"Lewat Torean aja bareng kami berdua. Kebetulan aku pernah beberapa kali melewati jalur itu."
"Eh, serius? Apa kami tidak merepotkan nantinya?" Aku bertanya dengan sungkan.
"Tidak, kok. Justru kami senang ada teman jalan. Biar ramai." Teman pria dewasa berambut ikal itu tiba-tiba ikutan nimbrung.
Aku hanya tersenyum, sebelum akhirnya berpaling kepada Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie untuk meminta pendapat mereka. "Kalian mau lewat jalur Torean?"
"Terserah sih gimana baiknya. Aku ngikut aja." Quỳnh Trang Vinh berkata lirih.
"Aku juga ngikut aja, deh." Nguyen Lien Lie selalu menyetujui keputusan sahabatnya itu.
Haduh, parah!
Pendapat kedua cewek Vietnam itu sangat memusingkanku. Aku dilema, takut jika membuat keputusan yang salah.
"Kalau kita lewat jalur Torean, kita bisa melihat aliran sungai dan air terjun yang indah di sepanjang kanan dan kiri jalurnya." Pria dewasa berambut ikal itu mencoba meracuni tim kami, lalu dia tiba-tiba memperlihatkan sebuah foto air terjun yang sangat menakjubkan di smartphone-nya. "Ini adalah Air Terjun Penimbungan. Hanya bisa kita jumpai lewat jalur Torean. Jalurnya sunyi, hening, jadi bisa menikmati keindahannya dengan syahdu," tambahnya.
"Wah, keren, keren! Aku mau lewat sini, Rick." Quỳnh Trang Vinh merasa tertantang untuk melewati jalur Torean.
"Eh? Serius? Bahaya banget, lho. Kudengar jalur itu sangat rawan karena banyak jurang yang sangat dalam. Butuh konsentrasi tingkat tinggi, fisik yang kuat, dan mental setebal baja untuk melewatinya." Aku sedikit khawatir.
"Tidak semenakutkan itu kok, Bro. Yang penting santai namun tetap berhati-hati." Teman pria dewasa berambut ikal itu tiba-tiba ikutan nimbrung lagi.
"Gimana?" Aku meminta keputusan final Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie.
"Lewat sini aja tidak apa-apa." Quỳnh Trang Vinh mendadak jadi sangat antusias.
"Iya, aku juga mau lewat sini." Nguyen Lien Lie juga tidak kalah antusias.
"Kalau memutuskan lewat jalur Torean, kalian harus melangkah dengan ekstra hati-hati dan tidak boleh jauh dariku." Aku mengajukan syarat yang cukup berat.
"Tidak masalah." Quỳnh Trang Vinh mengembangkan senyum, "Aku pasti bisa melakukannya.
Setelah itu dia menggandeng tanganku, merapatkan tubuhnya ke lenganku, dan bersikap manja. Dia tahu ini kelemahan laki-laki.
"Bagaimana kalau nanti malam kita—" Tanpa rasa malu dia menggodaku dan mengembuskan napas di telingaku.
Tubuhku menjadi kaku. Dadaku naik turun, napasku pun naik turun. Telingaku juga memerah. Akhirnya aku menyerah dan mengangguk tanda 'deal', lalu menatap kedua orang asing yang berdiri di hadapan tim kami ini. "Baiklah, kami mau lewat jalur Torean. Mohon kerja samanya, Bang—"
"Arif dari Surabaya." Pria dewasa berambut ikal itu memotong ucapanku seraya mengulurkan tangannya.
"Salam kenal. Aku Rick dari Magelang." Aku menjabat tangan Arif dengan hangat.
"Nandi dari Surabaya juga." Teman Arif juga memperkenalkan dirinya dengan lembut. Kemudian, ia bercerita bahwa dirinya dan Arif adalah rekan kerja sekaligus rekan petualangan dalam menjelajah gunung-gunung di Indonesia sejak dua tahun terakhir.
"Oh iya, ini teman-teman baruku dari Vietnam." Aku hampir saja lupa memperkenalkan partner pendakianku.
"Halo, namaku Quỳnh Trang Vinh. 'Trang' dari kata cerdas, simbol bunga, serta perhiasan. Dan 'Vinh' dari kata kemuliaan." Quỳnh Trang Vinh selalu saja berkata demikian saat memperkenalkan dirinya.
"Aku Nguyen Lien Lie. Senang bertemu kalian." Nguyen Lien Lie yang pendiam memperkenalkan dirinya seraya menundukkan kepala.
"...." Arif dan Nandi saling pandang karena kebingungan dengan ucapan cewek-cewek Vietnam itu. Hmm, sepertinya bahasa Inggris mereka berdua tidak terlalu baik.
Sesi perkenalan berakhir dengan canda tawa, lalu perjalanan turun via jalur Torean dimulai dari titik masuk yang terletak di dekat Danau Segara Anak, agak condong ke arah Plawangan Sembalun yang terlihat samar-samar karena terhalang rumput setinggi pinggang orang dewasa. Kami berjalan dengan hati-hati karena di beberapa titik ada banyak sekali tisu berserakan dan 'ranjau darat' pendaki nakal yang mungkin mengira jalur ini adalah jalur istimewa menuju toilet alam.