Wisata seni, sejarah, dan kebudayaan Yogyakarta.
Setelah sailing Komodo selesai, Yukiko dan Natalia jalan bareng keliling Flores dengan cara backpackeran. Mereka berkunjung ke Pulau Kanawa yang tak jauh dari Labuhan Bajo, Wae Rebo yang berada di barat daya kota Ruteng, dan Gunung Kelimutu di Ende untuk melihat danau tiga warna. Setelah itu, mereka berpisah karena memiliki tujuan yang berbeda. Yukiko pergi ke Maumere dan Lamalera, sedangkan Natalia melanjutkan perjalanan menuju Pulau Sumba.
Selama tiga hari Natalia mengeksplore pulau Sumba bersama couple traveller dari Australia yang ditemuinya sewaktu mendaki Gunung Kelimutu. Setelah misinya di Pulau Sumba selesai, ia kembali ke Ende, terbang ke Labuhan Bajo, dan langsung melanjutkannya ke Bali. Lalu, cewek Jerman itu naik bus menuju Banyuwangi. Di Banyuwangi, ia menyempatkan diri mengunjungi Gunung Ijen. Katanya ingin melihat blue fire. Selanjutnya, ia ke Jogja naik kereta api.
Kemudian, kami janjian akan reunian di Jogja.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Rabu, minggu ketiga bulan Ramadhan.
Magelang - Jogja berjarak 50 km. Saking bersemangatnya, aku memacu Honda Tiger 2000-ku hingga top speed-nya mencapai angka 100 km/jam. Waktu tempuh yang biasanya berkisar 90 menit, kini berhasil kutempuh selama 60 menit. Hehehe, kekuatan cinta memang sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.
Well, jalan bareng Natalia adalah pengalaman baru dalam hidupku. Ini pertama kalinya aku jalan berduaan bersama cewek Eropa di pusat kota. Di satu sisi aku merasa bangga karena kami menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar jalan Malioboro, namun di sisi lain aku juga merasa malu karena mereka terlalu memuja Natalia dan malah mengacuhkanku. Jadi, aku tidak menyangka kalau sikap mereka begitu heboh dalam merespons kedekatan kami.
"Tamunya, Mas?" Tanya seorang tukang becak yang mencoba menawarkan jasanya pada Natalia sewaktu kami makan pagi di lesehan pedagang kaki lima.
"Bukan, Pak, dia teman saya." Aku menjawab dengan sopan meskipun hatiku penuh dengan emosi. 'Hellowww… masa aku dikira seorang guide?'
"Di sini kalau ada bule jalan sama orang pribumi pasti orang pribumi itu dikira pemandu wisata, Mas." Pedagang lesehan gendut yang mirip hasil perkawinan antara kerbau dengan orang-orangan sawah ikut-ikutan berkomentar.
Aduh, kalian tega sekali!
Pertanyaan-pertanyaan sumbang pun bermunculan. "Ketemu di mana? Facebook, ya? Tinder, kan? Instagram, pasti!"
"Flores!" seruku.
Ada juga yang merekomendasikan tempat wisata mana yang harus kami kunjungi di Jogja. Ada yang berharap hubungan kami bisa viral seperti kisah cinta beauty and the beast. Ada pula yang iseng-iseng merekomendasikan langsung main ke hotel saja.
Aku memicingkan mata padanya karena merasa perkataan tersebut sudah kelewatan, Tidak semudah itu, Bos!
Aku merasa tidak perlu lagi menjaga sopan santun di hadapannya. Dengan suara paling tegas yang mampu kukerahkan, aku berkata dengan dingin kepada pria dewasa yang sedang merokok sambil cengar-cengir itu. "Itu pelecehan seksual, lho!"
"Ya ampun, ini percakapan rahasia antara sesama pria dewasa, jadi wajar saja karena itu hal yang manusiawi." Dia seenaknya saja bicara.
Dasar keparat! Rasanya aku ingin sekali menyemprotkan kemarahanku, tapi aku harus menahannya di depan semua orang yang menyimak obrolan ini dan wisatawan lokal maupun mancanegara yang sedang menikmati udara pagi di sepanjang trotoar.
"Ngomong-ngomong, wanita Eropa tidak suka dengan pria perokok." Aku berusaha memprovokasi pria kurang ajar itu sambil menatap matanya dengan sorot bengis.
"Oh, benarkah? Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya dingin.
"Tahu aja. Karena rokok menyebabkan impotensi. Kau tahu kan, pria impoten tidak bisa ereksi? Wanita Eropa tidak suka pria seperti itu. Udah impoten, 'kecil' lagi. Jangan harap deh dapat one night standing love."
"Memangnya punyamu 'besar'?" Pria perokok itu mulai terprovokasi.
"Hmm, lebih 'besar' dari punyamu." Aku mengatakannya sambil tertawa jahat karena merasa di atas angin.
"Wah, pantas saja dia mau jalan bersamamu." Orang gila itu tiba-tiba tersenyum kecut.
Sambil menahan darahku yang sudah sampai ke kepala, aku mencemooh orang gila itu dengan kasar. "Heh, selain impoten, ternyata otakmu juga rusak, ya! Kalau kau terus seperti ini, kau tidak akan pernah punya pacar."
"Sem… sembarangan kalau ngomong!" bentak bajingan itu, mimiknya menjadi kaku karena berang. "Kau bilang apa barusan?"
Aku tidak menyembunyikan ekspresi tidak sukaku dan menatap pria dewasa itu dengan tajam sambil memberikan kata terakhir. "Benar, kan? Pelecehan seksual itu menyebalkan, bukan? Makanya, hargai wanita."
"Apa maumu? Mau berkelahi?" Gaya pria perokok itu yang gemetaran, tatapan mata keras, dan tangan terkepal seperti orang yang menunjukkan gejala TBC membuatku merasa sangat jengkel.
Aku langsung naik pitam, sama sekali tidak peduli apa pendapat orang-orang di sekitar. Kalau tidak dilampiaskan, aku pasti akan sakit hati. Akhirnya aku meledak dan menerima tantangannya, "Ayo maju. Berapa orang pun boleh. Silakan saja!" sambil memasang kuda-kuda. Aku tidak gentar walau yang kuhadapi adalah sekolompok orang dan ini bukan wilayahku.
"Sudah, sudah! Jangan berkelahi di tempat umum. Nanti kalian bisa ditangkap Satpol PP."
Tukang becak, pedagang lesehan gendut yang mirip hasil perkawinan antara kerbau dengan orang-orangan sawah, dan beberapa orang yang menyaksikan ketegangan ini baru berani membuka mulut setelah beberapa waktu membungkam.
"Rick, ayo kita pergi dari sini." Natalia yang tidak paham maksud obrolan kami tetapi mengerti betul situasi panas ini hanya bisa membalas pandangan khalayak dengan senyuman. Walaupun hatiku terasa perih, namun aku sedikit lega melihat senyuman Natalia yang tulus itu. Emosi membara yang membuncah dalam diriku kontan mereda.
"Hmm, baiklah." Aku meninggalkan sejumlah uang yang cukup untuk membayar pesanan di atas meja, lalu menarik tangan Natalia dengan cepat. Aku sangat marah pada pria perokok tadi, juga merasa jengkel pada orang-orang yang malah menyaksikan perbedebatan antara aku dan pria perokok itu. Aku mengasihani diriku yang mengalami kejadiaan seperti ini saat jalan bareng bule cantik dari Jerman.
Begitulah penilaian orang-orang di sekitar.
Setelah amarahku hilang, sesuatu melintas di pikiranku. Aneh banget. Ada sesuatu yang membuatku merasa janggal. Entah apa penyebabnya, tapi kejadian yang baru saja berlalu masih melekat di pikiranku.
Aku masih belum bisa melupakan perbuatan orang-orang yang usil kepada Natalia. Saat kami terus berjalan, beberapa orang mencoba untuk menggodanya, bahkan ada yang langsung menarik tangan Natalia untuk mengajaknya berfoto. Aku selalu menggertakkan gigi setiap melihat hal itu terjadi. Sebenarnya aku ingin melarang orang yang tidak punya sopan santun seperti itu, tapi aku tidak mau membuat masalah dan menjadi pusat perhatian, atau yang lebih parah masalahnya bisa merembet ke jalur hukum. Menuruti hawa nafsu hanya akan membuang-buang waktu dan energi. Jadi, sebaiknya kami menghindar saja.
Namun, orang-orang yang berjalan maupun duduk-duduk di sepanjang bangku publik trotoar Malioboro suka melirik-lirik Natalia yang sedang berjalan di sebelah kiriku.
"Kau sangat tinggi."
"Cantik banget mirip Avril Lavigne."
"Cuwiiuuwiiittttt!"
Saat pandangan Natalia dan dan orang-orang itu bertemu, mereka langsung membuang muka dan terkikik, merasa senang dan bangga berani menggoda cewek bule. Semakin jauh kami berjalan, ada saja yang mengganggu Natalia dengan meminta izin terlebih dulu padaku; mengajaknya berkenalan, minta foto bareng, hingga minta akun media sosialnya. Namun, aku paling tidak terima kalau mereka memandangi Natalia dengan tatapan mesum dan memandangiku dengan tatapan merendahkan.
Untungnya, aku berhasil mengendalikan diri untuk tidak meludahi mereka, dan aku menerima pujian dari Natalia karena perbuatanku itu.