Pulau Karimunjawa terletak di utara Laut Jawa. Harga tanah di sini masih murah hingga banyak rumah memiliki taman yang luas. Tingkat kejahatan di pulau ini pun terkenal rendah, bahkan bisa dibilang nyaris tidak ada tindak kriminal, menjadikan pulau ini dikenal sebagai tempat yang sangat aman di Indonesia.
Jalanan di Karimunjawa sangat sepi. Kondisinya tidak terlalu bagus dan kualitas aspalnya bukan yang terbaik. Banyak pepohonan di sepanjang jalan utama yang menghubungkan Kota Karimun dengan desa-desa yang berada di ujung-ujung pulau. Cuaca saat itu sangat sempurna. Meskipun aku menyukai matahari dan panasnya yang menyengat, tapi aku tidak mau melawannya karena takut dehidrasi. Jadi, setelah selesai tur darat mengunjungi pantai-pantai yang bisa dijangkau dengan motor, aku langsung mengajak Yukiko menuju ke homestay.
Di tengah-tengah perjalanan, aku sempat mengajak Yukiko berhenti di sebuah aliran sungai kecil yang airnya seperti kristal dibelah dua. Lah? Setelah membasuh muka di surga kecil itu, kami melanjutkan perjalanan lagi. Namun, begitu melihat resort sepi yang menyuguhkan pemandangan pantai utara Karimunjawa, kami berhenti lagi. Tanpa pikir panjang kami langsung tiduran di atas rumput halaman resort tak berpagar itu sambil menatap langit. Bersantai di sini sambil mendengarkan lagu-lagu petualangan lewat speaker portable rasanya begitu hidup.
"Sehari sebelum kau pulang ke Jepang kita harus berkemah di sini." Ini bukan modus supaya aku dan Yukiko bisa tidur dalam satu tenda, namun benar-benar ingin menikmati suasana malam di halaman resort yang sepi ini sambil bakar-bakar ikan.
"Boleh, sepertinya seru sekali," balasnya sambil tersenyum kecil.
Sebelum pukul 4 sore, aku dan Yukiko sudah berada di halaman belakang Rumah Singgah Pantura milik Pak Kul. Dinamakan rumah singgah karena tarif homestay di sini cukup murah. Begitu juga dengan makananya; murah standar warteg dan rasanya lumayan lezat.
Sayangnya ada banyak hal yang berubah dari rumah singgah milik Pak Kul ini sejak setahun yang lalu. Bangunan rumah singgah yang berwarna hijau sudah bertingkat. Konsepnya seperti bangunan kost moderen di kota. Di depan bangunan hijau itu ada bangunan serupa berwarna merah muda, namun tidak bertingkat. Kemudian, ada satu bangunan sederhana yang menghadap langsung ke pantai. Di sebelahnya, ada taman bermain dan tempat bersantai yang belum jadi. Lalu, Pak Kul sepertinya sedang membuat kedai sederhana di samping pohon besar yang menjorok ke pantai. Sebelah timur laut, ada jembatan yang membentang sepanjang dua puluh meter. Dan di samping kanan ujungnya ada gazebo yang sedang digunakan anak-anak kecil untuk bercengkerama sambil bermain gadget.
Tapi, dibandingkan semua itu, aku paling terkesan dengan keluarga Pak Kul. Pak Kul sendiri tidak hanya mengelola Homestay Pantura, tapi juga berprofesi sebagai PNS, nelayan, pedagang, dan masih banyak lagi. Seorang pria sejati yang memiliki wibawa dan bisa mengerti perasaan orang lain. Istrinya anggun dan tidak cerewet. Anak perempuannya baik, tutur katanya santun dan halus khas orang keraton Jawa, dia juga terlihat manis. Sedangkan anak laki-lakinya sedikit nakal layaknya anak SD, tapi penggunaan bahasanya cukup baik dan santun. Hal itu sudah cukup membuktikkan bahwa Pak Kul sukses mendidik putra-putrinya dengan baik. Aku bisa merasakan kualitas keluarga ini dari semua yang mereka lakukan dan katakan. Inilah cerminan orang-orang terpelajar di Pulau Karimunjawa yang sebenarnya. Bahkan aku yang masih lajang ini bisa merasakan cinta kasih dan kehangatannya.
Saat Pak Kul menyadari keberadaanku, dia berkata girang, "Mas Erick kembali lagi! Senang sekali bisa bertemu Mas Erick lagi."