Miss Travel Beauty

Luca Scofish
Chapter #42

Alun-alun Karimunjawa

Setelah Pak Kul dan istrinya meninggalkan kami, aku mengajak Yukiko berkeliling menggunakan perahu kecil menuju pesisir Pantai Ujung Gelam. Kami berenang menikmati keindahan bawah laut pantai itu, lalu jalan-jalan di pesisir yang kaya akan pasir putih dan pohon kelapa.

Hampir setahun lamanya aku tidak berenang di pantai ini. Tapi aku masih ingat sensasinya. Alunan ombak yang menerjang tubuh kita memberikan sensasi layaknya orang yang bergoyang menikmati alunan musik dangdut. Sedangkan jika kita berenang menjauh dari karang, melihat dalamnya lautan, rasanya seperti terbang di langit yang biru.

Ketika matahari hampir terbenam, suatu musibah menimpa Yukiko sesudah aku mengangkat jangkar perahu kecil kami dan hendak mendayung kembali ke homestay. Telapak kaki Yukiko terkena paku yang menyempul ke atas dari ujung depan kapal kecil itu.

"Yukiko tidak apa-apa?" Aku menatap cewek Jepang itu dengan tatapan penuh rasa khawatir yang belum pernah kuperlihatkan sebelumnya, merasa miris sekali karena raut wajahnya yang datar dan dingin tiba-tiba berubah sendu.

"Aku tidak apa-apa, kok." Suaraku yang penuh rasa khawatir barusan tidak mampu membuat Yukiko mengakui rasa sakitnya.

"Boleh kulihat telapak kakimu?" Aku mencoba bersikap tenang.

"Tidak perlu."

"Tidak perlu bagaimana? Kau jangan berbohong padaku." Kali ini aku berkata dengan nada sedikit marah.

"Ini hanya luka ringan. Nanti juga sembuh sendiri."

Aku mendengus kesal mendengar jawaban Yukiko yang terdengar yakin itu. "Memangnya kau ini dokter? Bagaimana kau bisa tahu kalau lukamu bisa sembuh sendiri? Jelas-jelas kau menginjak paku yang berkarat. Nanti bisa infeksi, lho, kalau tidak segera mendapat penanganan dengan baik."

"Tidak apa-apa. Sungguh."

"Sudahlah, tidak usah mendebat. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Aku sama sekali tidak memedulikan pendapat Yukiko yang sejak tadi menggeleng sambil berkata 'tidak apa-apa' itu.

"Memangnya di pulau ini ada rumah sakit?" Yukiko yang keras kepala itu tiba-tiba melemparkan pertanyaan dengan cepat.

Hah? Apa maksudnya dengan kata 'pulau ini'. Seakan-akan Pulau Karimunjawa sangat primitif sekali.

"Ada, dong. Rumah sakit kecil, maksudku," ujarku malu-malu.

"Klinik?" Yukiko mengerutkan keningnya.

"Semacam itulah."

"Ya sudah." Ketegangan di bibir Yukiko mengendur. Akhirnya dia setuju setelah mendecakkan lidah.

Sesaat kemudian, aku mendayung perahu kecil kami dengan cepat menuju homestay. Begitu sampai, aku menggendong Yukiko ke gazebo, lalu dengan cepat langsung mengambil kontak motor dan berlari ke parkiran. Aku memutar kontak ke posisi on, setelah itu mengusap keningku yang berkeringat dengan telapak tangan. Padahal aku hanya berlari beberapa meter saja, tapi napasku sudah tersengal-sengal. Detak jantungku melonjak seperti telah berlari menghindari kejaran anjing. Namun, ini bukan karena ketakutan, melainkan karena kekhawatiranku kepada Yukiko. Kemudian, aku bergegas menuju gazebo.

Setelah sampai di gazebo, aku mengatur napasku yang tidak beraturan tadi, lalu mempersilahkan Yukiko naik ke motor. Dengan takut-takut seperti melihat setan dari kejauhan, aku menarik tuas gas secara perlahan.

"Sabar ya, sebentar lagi sampai." Aku yang terus mengemudi dengan pelan dan hati-hati berkata sambil melirik Yukiko dari spion. Yukiko yang hebat itu pun tampak letih. Wajahnya masih terlihat pucat.

"Iya." Suara Yukiko terdengar lembut saat mengatakannya. Tampaknya ia sudah kembali tenang.

"Maafkan aku, Yukiko. Seandainya aku tidak mengajakmu jalan-jalan dengan perahu kecil tadi, mungkin hal ini tidak pernah terjadi."

"Tidak perlu meminta maaf. Fokus saja dengan jalannya."

"Iya, maaf."

Walaupun aku terus-menerus mengajak Yukiko mengobrol, tapi tanganku tidak pernah beristirahat dan terus memegang kemudi—tangan kiri memegang tuas kopling dan tangan kanan memegang tuas gas. Medan jalan di Karimunjawa merupakan medan jalan yang tidak asing bagiku, sehingga otakku sudah hafal betul karakter jalan ini. Tekstur aspal yang jelek dan sempit, bahkan tidak ada marka jalan. Jalannya naik-turun, tikungan tajam, berkelok-kelok, meliuk ke kanan, meliuk ke kiri, itu pun diperparah dengan minimnya penerangan jalan. Jadi kita harus mengemudi dengan ekstra hati-hati supaya selamat dan tidak membahayakan pengendara lain. Namun, beberapa kali aku mendapati motor yang knalpotnya dimodifikasi sampai suaranya berdendam hingga ke jantung, menggunakan jalur seenaknya saja untuk melewati kami. Beberapa di antara mereka bahkan mengklakson hingga lebih dari tiga kali. Intimidasi dan provokasi semacam ini biasanya dilakukan oleh wisatawan yang membawa motor pribadinya untuk berkeliling Pulau Karimunjawa.

"Dasar bodoh! Kecelakaan baru tahu rasa!" Dengan wajah merengut, aku mengumpati klub motor cross yang tampak semakin menjauh dari hadapanku itu menggunakan bahasa Indonesia.

"Sudah. Tidak usah dihiraukan. Fokus saja dengan jalannya." Yukiko berkomentar terhadap rasa kekesalanku pada klub motor cross tadi menggunakan bahasa Inggris.

Padahal aku mengumpat menggunakan bahasa Indonesia, kenapa dia bisa tahu?

Tanpa menanyakan alasannya, aku mengangguk sambil menggoyangkan stang motor ke kiri dan ke kanan seiring dengan kelokan jalan. "Maaf. Aku sering emosi setiap kali bertemu dengan pengemudi motor yang arogan seperti itu."

Aku bukannya menganggap klub motor sebagai musuh atau orang jahat, tapi sepertinya ada sesuatu yang berapi-api dalam diriku ingin memberi mereka pelajaran. Sekarang aku jadi paham perasaan orang-orang di sekitar yang resah dengan suara knalpot racing itu, bahkan sampai ada yang menyumpahi jika ada anggota klub motor itu mengalami kecelakaan, warga sepakat tidak mau menolong. Hm, bagiku ini pengetahuan baru.

Jika dibandingkan dengan pengemudi yang ugal-ugalan seperti itu, aku bisa dikatakan pengemudi yang sangat baik dan taat berlalulintas. Sejak membeli motor touring Honda Tiger 2000, aku tidak pernah menambahkan aksesoris apa pun pada motor kesayanganku ini. Aku juga jarang memacu kecepatan motorku di atas 60 km/jam pada kondisi jalan yang baik. Aku bahkan melambatkan laju motorku sebelum berbelok. Meskipun cara mengemudiku lebih cocok dibilang 'gaya odong-odong' dibandingkan dengan 'gaya pebalap Moto GP', tapi tidak bisa dimungkiri bahwa gaya ini adalah gaya yang selalu menghindarkanku dari insiden kecelakaan lalu lintas.

Motorku terus melaju menyusuri jalan sempit nan bergelombang yang gelap karena hampir tidak ada lampu jalan di kedua sisinya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Selain klub motor cross yang menyalipku tadi, sangat jarang berpapasan dengan motor dari arah berlawanan, kehidupan malam warga desa di Karimun terasa sepi.

Kegelapan yang remang-remang perlahan-lahan berubah pekat begitu kami menjauhi rumah warga dan melewati kebun yang rimbun nun panjang. Aku menyalakan lampu depan jarak jauh dan akhirnya berbelok ke kiri, memasuki jalanan turun yang bergelombang dan berlubang itu dengan hati-hati. Kecepatan motor yang tadinya mencapai 60 km/jam kuturunkan menjadi separuhnya, melaju seolah aku sedang belajar bagaimana cara mengendarai motor dengan baik.

"Aaakh!!!" Yukiko tiba-tiba berteriak.

Secara reflek aku langsung menekan tuas rem, berpikir ada hantu yang melintas. Namun ternyata ada seekor biawak yang hendak menyeberang. Sambil merasakan keringat dingin di punggungku, aku mengembuskan napas panjang karena merasakan kehangatan dan kenikmatan yang menyejukkan hati begitu menyadari Yukiko memeluk erat tubuhku.

"Apa-apaan kau ini. Jangan buat orang kaget, dong." Aku pura-pura protes, padahal dalam hati senang setengah mati saat dada Yukiko yang sempurna itu terasa hangat selama menempel di punggungku.

Lihat selengkapnya