Hari ketiga, Bandara Dewadaru, Timur Laut Karimunjawa.
Satu-satunya bandara di Karimunjawa yang sepi itu hanya memiliki landasan pacu sepanjang satu kilometer-an. Pesawat terbesar yang bisa mendarat di bandara ini merupakan jenis pesawat baling-baling seperti ATR72 buatan Prancis dan Italia. Desain pesawatnya unik, mengingatkanku pada rancangan pesawat R80 impian BJ Habibie.
Setelah antri membeli tiket, kami duduk di terminal penumpang bersama puluhan wisatawan lain yang hendak menuju Semarang.
"Bandaranya asri sekali, ya." Suara Yukiko terdengar ceria, tapi aku tidak tahu seperti apa ekspresi wanita itu karena aku tidak berani memandangnya. Aku malah sibuk memperhatikan suasana di sekeliling kami. Meskipun kami sudah menghabiskan beberapa hari di Karimunjawa dan mengukir cerita penuh kenangan, tapi aku merasa ada yang kurang.
"Eh, iya." Aku sedikit terkejut karena tidak biasanya Yukiko membuka topik obrolan lebih dulu.
"Namanya juga unik. Kau tahu sejarahnya?"
"Nama Dewadaru diambil dari flora endemik di Karimunjawa, yaitu pohon Dewadaru." Menjelaskan hal itu, aku berhenti sebentar dan sedikit ragu-ragu, kemudian lanjut berkata, "Konon katanya siapa yang mengambil batang kayu itu maka kapalnya akan tenggelam dalam perjalanan meninggalkan Karimunjawa, walaupun kayu yang diambil hanya sebesar genggaman tangan."
"Eh? Serius?"
"Nggak, sih. Cuma mitos, hehehe."