Malam itu, tidurku tidak nyenyak. Kata 'cinta lintas sejarah' yang dikatakan Clarista membuat hatiku gelisah dan kacau. Hal itu sangat memengaruhi kehidupan sehari-hariku.
Setiap hari, aku membuka laptopku dengan malas-malasan. Ketika melihat-lihat konten blog-ku, aku tidak ceria dan tersenyum seperti biasanya. Kadang, seharian aku hanya melamun, melamun, dan melamun. Berharap ada inbok dari Quỳnh Trang Vinh, Yukiko, maupun Natalia. Namun, bukankah orang yang paling menderita di dunia ini adalah orang-orang yang selalu berharap?
Tidak boleh begini terus. Tidak boleh seperti ini terus. Aku harus melupakan mereka dan memulai petualangan-petualangan baru dalam hidupku. Aku menyemangati diri.
Aku curiga jangan-jangan ucapan Clarista saat itu benar—cinta yang absurd dan egois. Kesadaran akan hal itu membuatku gelisah. Untuk pertama kali dalam kehidupan percintaanku, aku mulai mengalami prasangka-prasangka buruk akan cinta. Aku merasa dicampakkan begitu saja. Kini aku menghadapi pilihan untuk menerima fakta antara bersikap dewasa dan mengejar hasil yang lebih layak atau bersikap kekanak-kanakan dan mendapat hasil yang buruk.
Suatu hari, aku dikejutkan dengan Instastory Quỳnh Trang Vinh bersama seorang cowok yang sedang bergandengan tangan turun dari eskalator mall.
"Miss Vietnam," aku tergagap, jantungku berdebar keras, hatiku seakan disambar kilatan badai petir berkekuatan satu gigavolt. Rasa sakitnya menjalar ke jantung, lalu merambat dengan cepat ke organ tubuh lainnya, hingga berhasil menginfeksi sel glia dan neuron di otakku. "Tidak mungkin."
Dengan gerak lambat, karena masih tidak percaya dengan apa yang kulihat, aku memutar smartphone-ku sebesar 180 derajat. Lalu, aku menyimpan bukti screenshoot dan memperbesar ukurannya gambarnya.