Misteri Bait Astavacas: Petualangan Matematika & Simbol

RK Awan
Chapter #1

Ruas I. Ketika Matahari Tenggelam, dan Isaac Newton Sang Alkemis

Hari sudah memasuki masa tunggang gunung, saat matahari telah terlihat mendekat di atas gunung. Ketika operasi matahari ke bumi hampir selesai sehingga langit mulai gelap. Bermacam kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan telah menghidupkan alat penerangannya. Lampu-lampu jalan juga tak ketinggalan telah menyala, begitu pula lampu di rumah dan toko-toko yang aku lalui telah berpijar.

Sementara, beberapa orang yang berpapasan denganku terlihat menatapku dengan ekspresi bertanya –dan menghakimi. Tentu saja, itu reaksi yang wajar aku dapatkan. Pada sebuah petang ini, aku masih berkeliaran memakai seragam sekolah tingkat madya atas. Tak aneh bila orang akan berpikir bahwa aku murid yang tak disiplin, siswa berandal yang tak taat aturan dan seenaknya sendiri.

Tapi aku tak peduli. Aku punya alasan sendiri mengapa aku masih belum pulang, dan kemungkinan para penatapku akan memaklumi alasanku bila mereka tahu. Perihal seragam sekolah yang masih kukenakan, itu juga ada penyebabnya.

“Hei, Caturtus, baru pulang lagi?” terdengar suara yang tak asing bertanya dari belakangku.

Begitu aku menoleh, aku mendapati memang si penyapa adalah orang yang kukenal. “Iya, mamang Urdin,” balasku.

“Tapi tumben kamu kok masih pakai seragam?”

Aku menjawab sambil tersenyum, “Iya, aku tadi memang lupa bawa baju ganti,” lalu balik bertanya, “Mang Urdin sendiri nggak jaga kios?”

“Oh, aku ada urusan tadi, dari siang, dan ini mau balik lagi ke sana,” jelas Mang Urdin yang saat itu membawa sebuah bungkusan plastik hitam.

“Begitu ya, bakal balik lagi, kirain udah tutup. Nanti aku pesan yang biasanya ya, jeruk tanpa gula.”

“Oke....siap....siap,” ujar Mang Urdin, lalu menawarkan, “Bagaimana kalau tasnya aku bawakan, kamu pasti capek kan?”

Aku menolak dengan nada ramah, “Tak usah Mang, anggap aja ini juga untuk latihan fisikku.”

Mamang Urdin, seorang lelaki paruh baya berwajah ceking, berperawakan kurus, dengan tinggi tubuh setara denganku. Petang itu ia memakai celana panjang kain hitam, baju bermotif kotak-kotak biru-hitam berlengan panjang. Juga, tentu saja, topi berbahan kain di kepalanya yang tak pernah absen bila ia sedang bertugas menjaga kiosnya, yang membuat rambut keritingnya tertutup.

Kios Mamang Urdin terletak di bagian sudut tenggara di antara deretan kios di Terminal Biandono –yang berjarak lima puluhan meter dari titik kami berjalan saat ini. Seperti kios lainnya, kios Mang Urdin di bagian depan atapnya telah terpasang papan nama dengan sepertiga bagian papan menampilkan sponsor produk minuman botol. Dua pertiga lainnya digunakan untuk menampilkan nama “KIOS MANG URDIN” dan berbagai jualan yang disediakan Mang Urdin: Teh panas/es, Jeruk panas/es, soto ayam, mie ongklok, nasi tiwul, nasi goreng, aneka gorengan, aneka jajanan pasar, dan lain-lain.

Sebagai pemilik, Mang Urdin bisa kusebut menerapkan prinsip “ora ngoyo, ora ngongso”. Dengan kata lain: tidak menggebu-gebu dalam mencari penghasilan. Memang Mang Urdin ulet, ia selalu tepat waktu dalam menyiapkan barang gadangannya, juga selalu menjaga kualitasnya. Tapi ia tak begitu perhitungan dengan setiap sen transaki: terkadang ia memberi potongan harga, melebihkan porsi, atau merelakan pembeli membayar kurang bila kebetulan ia tak punya kembalian. Kiosnya buka dari pagi-pagi hingga malam. Tapi, bila ada keperluan lain, ia tak akan memaksakan kiosnya tetap buka –meski pengunjung terminal sedang ramai. 

(***)

“Kamu pasti bisa menjawab soal itu.” Mang Urdin berkomentar saat ia melihatku menatap sebuah kertas pembungkus yang kebetulan jatuh di depan pintu geser kios Mang Urdin, ketika ia akan membuka ke atas pintu besi tersebut.

Aku memperhatikan kertas itu: tercetak sebuah soal matematika. Dari bagian tajuk dengan tulisan huruf-huruf yang lebih kecil, terapat keterangan bahwa kertas tersebut adalah ujian untuk akademi Rasayana. Aku yang sudah paham akan bahasan topik di kertas itu menjawab, “Memang.”

“Sekilas kulihat kelihatannya sulit ya. Apa itu untuk tingkat sekolah madya?”

“Ini untuk Akademi, tingkat Akademi Militer Rasayana mang,” jelasku.

“Sudah jelas aku tak akan paham, tapi apa kau bisa memberitahu lebih lanjut tentang apa?”

“Kalau kulihat dari ilustrasi soal ini, tentang Proposisi I dari Buku I Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica karya Isaac Newton.”

“Wah, apa itu?” tanya Mang Urdin seraya melangkah masuk ke kiosnya.

Jawabku, “Ini tentang gerak benda, dan berhubungan dengan hukum Kepler kedua.....” aku memikirkan kata penjelasan,“......berhubungan dengan orbit planet terhadap matahari.”

“Dan kamu yang baru tingkat pertama sekolah madya sudah paham? Hebat,” puji Mang Urdin yang sudah berada di bagian dapur. “Kamu pasti bisa menjadi Rasayanas yang hebat, membuat pugaba yang menakjubkan.“

Lihat selengkapnya