Segelas jeruk baru saja kuhabiskan, tak sampai semenit setelah pesanan itu diaturkan Mang Urdin. Segera aku merogoh uang pas yang telah kusediakan di bajuku. Kemudian aku berdiri dan melangkah untuk membayarkan tigaratus rupiah itu,”Terimakasih mang,”
“Sama-sama, Caturtus.“ Mang Urdin yang menerima tiga lembar uang kertas itu, menghentikan gerakan memindahkan es batu dari termos ke sebuah bungkusan plasik teh. Sambil menyimpan uang ke dompet, ia bertanya, “Setelah ini kau akan ke telepon umum untuk minta jemputan ke emban ayahmu kan?”
“Iya,” jawabku. Memang setelah ini aku akan pergi ke kotak telepon umum untuk meminta jemputan sopir ayah –seperti yang biasa aku lakukan bila aku pulang petang hari. Aku balik bertanya, “Emangnya kenapa mang?”
“Begini,” Mang Urdin mengutarakan, “Kau ingat adikku yang sopir truk itu?”
“Mang Bardun itu kan?” tanyaku memastikan.
“Nah, betul mang Bardun.... Jadi begini. Kan aku pernah cerita di mana dia nyopir truk. Jadi kan dia dipindahkan wilayah operasinya baru-baru ini. Dulu kan di Timur sana sekarang geser Barat ke sini. Truk adikku itu bakal sering lewat Randubalar ini.”
“Bagus dong mang. Bisa lebih sering ketemu.”
Mang Urdin tersenyum, “Kebetulan juga nanti dia bakal mampir ke terminal. Ini paling sebentar lagi sampai, mungkin sepuluhan menit lagi. Paling nanti kami cuma ngobrol sebentar, soalnya kan dia harus kejar waktu juga.” Si pemilik kios itu menawarkan, “Jadi, kalau nanti dia lanjut, kalau kamu ikut dengannya gimana? Apa kamu mau?”
Aku tidak segera memberikan kalimat persetujuan ataupun penolakan.
“Aku sudah bilang ke adikku, dia mau aja kalau kamu mau, kan dia juga tak ada kernet, jadi juga dapat teman perjalanan, ya meski singkat....” Mang Urdin yang tahu aku masih mempertimbangkan tawarannya, bertutur lagi, “...... lagian kamu belum pernah naik truk kan? Caturtus yang suka mencoba hal baru, kupikir bakal tertarik deh.“
Memang benar kalimat terakhir Mang Urdin: aku belum pernah naik truk. Aku juga suka mencoba hal baru, dan kalau tak ada pikiran lain tentu aku langsung mengiyakan. Salah satunya, aku berpikiri kira-kira bagaimana nanti reaksi orangtuaku.
Kupikir kalau ayah tak masalah dengan itu, aku menebak ayah bakal berpendapat, “Sekali-kali kan nggak masalah, malahan bagus mencoba“. Aku juga sudah mempersiapkan pembelaan diri seandainya ayah bilang begitu, “Betul pa. Lagian kan aku mau masuk Akademi Militer Rasayana. Di sana juga bakal naik truk.”
Berbeda dengan ibuku, pasti tidak akan setuju aku naik truk. Dan untuk kenakalan seperti ini, ibuku tidak akan marah besar. Hanya marah maksimal sampai tingkat menengah, serta akan menepuk-nepuk ringan bahu dan kepalaku sepanjang hari bila ada kesempatan.
(***)
Pada akhirnya, aku tetap menghubungi orang rumah via telepon umum. Tapi tidak untuk meminta jemputan, melainkan memberi kabar bahwa aku akan pulang dengan menumpang seorang kenalan baik. Ibuku, yang kebetulan menerima sambungan telepon, tak kuberitahu aku akan menumpang truk. Entahlah, mungkin karena naluri seorang ibu, tadi aku merasa diinterogasi.
“Temanmu itu sekalian dipersilakan mampir ya,” kata ibu.
“Kalau itu tidak bisa bu, maaf. Aku sudah dibilang dia ada urusan dan secepatnya harus melanjutkan jalan.”
“Sama temanmu, naik mobil apa?” tanya ibuku.
“Aku naik mobil bu, ya mobil biasa lah....”
“Yang biasa itu mobil apa?”
“Ya mobil seperti mobil kita.”
“Mobilnya bagaimana?”
“Maksudnya bagaimana bu, mobilnya bagus kok. Apa ibu mau tanya tipe-nya? Kondisi kursinya gimana? Ibu sales mobil atau apa?”
Ibu memberi jeda beberapa detik sebelum bertanya lagi, “Kamu itu..... beneran kan?”
“Bener, bu.”
“Nggak bohong? Apa nggak mending kamu tunggu aja Pak Pradi jemput kamu?”
“Tak perlu bu, beneran kok bu aku naik mobil teman.” Aku sengaja hanya melisankan naik mobil, tetapi dalam hatiku aku meneruskan, beneran aku naik mobil truk bu, tadi aku juga bilang ‘seperti mobil kita’ maksudnya ya sama-sama kendaraan.
Setelah itu, ibu diam beberapa saat, sebelum memberiku restu dengan nada masih curiga. “Ya udah deh. Cepat ya, ibu tunggu, sudah gelap sudah lewat swastamita.....” tutup ibu dengan memperingatkan bahwa waktu matahari terbenam sudah lewat.