Telah tertangkap oleh mataku, atap rumah bercat kuning dijon –kuning kecoklatan. Meski dari titik aku berjalan saat ini rumah tersebut masih terhalang rumah-rumah lain, rumah itu memang mudah terlihat. Hal itu karena berbeda dengan rumah di sekitarnya yang berlantai satu atau dua, rumah itu dibangun hingga tiga taris.
Aku yang melangkah mendekatkan diri ke rumah itu, disapa Pak Rudin yang bersepeda dari arah berlawanan, “Baru pulang lagi, Caturtus?”
Seraya tersenyum dan menganggukkan kepala, aku mengiyakan, “Begitulah, pak RT.“
Tanpa diminta, Pak Rudin suka berguyub-rukun dan murah bicara itu memberhentikan sepedanya dan menjelaskan maksud kepergiannya, disertai dengan senyuman di bibir. “Ini aku mau ke toko buah, istriku ngidam mangga muda. Si Sutri juga sudah aku minta pergi ke toko lain, kalau-kalau nanti tidak dapat,” jelas Pak Rudin menyebut Sutri asisten rumah tangganya itu.
“Begitu ya, pak. Semoga dapat pak mangga mudanya,” aku menanggapi.
“Semoga,” kata Pak Rudin, “Jalan lagi ya Turtus,” sambil memacu sepedanya kembali.
Masih ada satu tetanggaku, Pak Luslan, yang berpapasan dan menyapaku, sebelum aku sampai di depan pagar rumah beratap kuning dijon. Di pagar berbata merah setinggi 2 meter dengan duri di atasnya itu tertera nomor rumah, IIA/6. Juga terpasang papan nama: Alad Mardikani Askararka, yang merupakan nama ayahku.
Dua kata pertama dari nama ayahku, Alad Mardikani berarti ‘Nyala yang membuat merdeka’. Sementara kata terakhir adalah nama keluarga yang berasal dari gabungan dua kata: Askara yang berarti ‘sinar atau cahaya’ dan Arka yang berarti ‘matahari atau surga’. Nama keluarga yang terkadang sulit diucapkan beberapa orang, aku masih ingat saat Bu Sari guru kimia yang sekaligus wali kelasku pertama kali mengabsen dengan nama lengkapku, “Caturtus Mardikanggakara Askaraskara.... Askarasar....As....Askakar....As-ka-rar-ka......”
Keluarga kami, sesuai yang diceritakan orangtuaku, adalah bibit adiwangsa alias keturunan darah biru. Baik ayah dan ibuku berasal dari dinasti wangsa ningrat. Selain sekedar nama keluarga, orangtuaku juga mendapat warisan raja brana yang melimpah. Harta benda peninggalan keduapasang kakek-nenek tersebut bisa dikelola dengan baik oleh ayah-ibu, menjadikan kami keluarga terkaya se-kabupaten. Salah satu aset orangtuaku, rumah mewah IIA/6 di kawasan Mutiara Asri ini.
Ketika aku berhadapan dengan gerbang terali besi yang diapit patung dwarapala di sisi kanan dan kirinya, aku bisa melihat empat orang sedang mencuci salah satu mobil ayahku. Mereka adalah Pak Pradi dan Pak Jumin, dua sopir keluarga kami, yang dibantu Pak Romado tukang kebun kami dan Pak Junto satpam yang waktu itu sedang giliran shift. “Oh, den Turtus,” sapa Pak Junto saat menyadari keberadaanku. “Selamat datang, den Turtus,” sapa Pak Pradi yang menolehkan kepala ke belakang.
Aku yang telah menggeser terlai besi bertanya, “Tumben jam segini cuci mobil.”
“Iya, soalnya nanti tengah malam ayah den Turtus mau berangkat, kejar waktu besok ada acara,” jelas Pak Pradi.
“Mau ke mana?”
Belum sempat aku memperoleh jawaban, terdengar suara seseorang yang datang dari dalam rumah. “Ini dia putra julung sungsang-ku baru pulang.” Rupanya ibu yang muncul dari dalam rumah, yang tumben menyebutku dengan panggilan tidak biasa. Julung sungsang ialah sebutan untuk anak yang lahir ketika matahari tegak di atas bumi –alias sekitar pukul 12 siang, dan memang aku lahir pada waktu tersebut.
“Tumben mama–”