Saat ini, aku berdiri dengan seseorang di samping kiriku, dan empat orang lain di samping kananku. Kami sama-sama berdiri membelakangi para pasukan peserta upacara dari berbagai resimen yang berbaris di halaman Istana Negara. Kami berenam adalah para peraih penghargaan, masing-masing satu orang dari angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, dan akademi kepolisian. Sementara untuk tahun ini, dari Akademi Rasayana ditetapkan ada dua orang yang berhak menerimanya.
Berjarak dekat di hadapan kami, berdiri empat orang laki-laki pasukan di sekeliling sebuah panggung kecil upacara. Di sisi kiri panggung, terdapat seorang pasukan pembawa baki penghargaan. Di panggung berwarna merah, berdiri presiden Nawa Dewa Denawan, lelaki berambut putih yang sebentar lagi akan menyematkan tanda penghargaan dan melingkakan kalung penghargaan pada kami.
Tentu saja, ayah, ibu, dan adikku yang duduk di tenda tamu undangan yang terletak belasan meter disamping kanan tempatku berdiri saat ini, akan memaku menyaksikan momen ini. Begitu pula para hadirin lain di tenda roder tersebut. Termasuk keluarga laki-laki yang saat ini berdiri di samping kiriku ini: ayah, ibu, adik laki-laki, juga seorang kerabatnya yang punya sebutan Pakdhe Sam.
Nama terakhir, Pakdhe Sam, adalah salah satu dari 10 orang terkaya di negeri ini, yang juga merupakan lulusan Akademi Rasayana. Pakdhe Sam, punya beberapa perusahaan, dengan induk perusahaan yang fokus memproduksi alat-alat teknologi. Perusahaan Pakdhe Sam adalah salah satu dari beberapa perusahan yang bekerja sama dengan Akademi dalam pengembangan telepon genggam.
Sudah beberapa kali kesempatan aku berbincang dengan teman seangkatan sesama peraih penghargaan Adhi Makayasa di sebelah kiriku, tentang Pakdhe Sam dan perusahaan tersebut. Pakdhe Sam, yang tidak menikah dan memiliki keturunan telah menyiapkan temanku ini sebagai pewarisnya. Dengan etos kerja yang ditunjukkan temanku, aku yakin Pakdhe Sam semakin yakin memilihnya meneruskan bisnis, setelah masa tugas temanku itu selesai.
Nama temanku sesama rasayana ini, adalah Ragunanzu Supena Pawana. Salah seorang dari beberapa laki-laki seakademi yang –atas permintaan ibu– kubicarakan dengan ibu, dalam konteks ‘ temanku yang mungkin menjadi suami adikku’. Sudah pasti, ibuku tak akan keberatan seandainya dia bersanding di kursi pelaminan dengan adikku. Tapi, menurutku sendiri, karakter Ragunanzu tak begitu cocok dengan karakter adikku.
Memang aku mengenal Ragunanzu dengan baik. Kami teman dekat, akrab sejak semester pertama. Aku ingat, kami menjadi karib tepatnya setelah suatu diskusi mata kuliah Sejarah Rasayana I. Saat itu, dalam satu kelas kami yang berjumlah enambelas orang, dibagi menjadi empat kelompok sama rata. Dalam kelompokku, dari empat orang, aku dan Ragunanzu lebih aktif dibanding dua orang lainnya.
Ketika waktu presentasi pada pertemuan selanjutnya, aku dan dia juga mampu menyuguhkan presentasi yang paling memuaskan. Waktu itu kelompok kami mengutarakan topik tentang rasayana Isaac Newton dan terjemahan Tablet Smaragdina. Aku tidak lupa kalimat-kalimat Ragunanzu saat gilirannya presentasi.
“Hence I am called Hermes Trismegist, having the three parts of the philosophy of the whole world. Kita perhatikan, kalimat ‘three parts of the philosophy of the whole worlds’. Tentu saja disebut sebagai tiga bagian dunia, karena dari sudut pandang ketika teks ini ditulis pada zaman kuno, dunia terdiri dari tiga benua, yaitu Asia, Eropa, dan Afrika. Kita bisa melihat penggambaran pembagian tiga dunia tersebut pada peta zaman dulu, peta T dan O,” jelas Ragunanzu panjang lebar, seraya menggambar huruf O, lalu huruf O yang lebih kecil, lalu huruf T di bagian terdalam.
Lanjutnya, “Secara sederhana begini, peta T dan O yang disebut juga dengan orbis terrarum. Bagian pinggir ini, melambangkan lautan, sementara pada O yang dibagi huruf T, wilayah terluas menunjukkan benua Asia, sementara dua bagian lain menunjukkan Eropa dan Afrika. Sementara benua Amerika, yang punya nama lain ‘New World’, kita tahu baru dieksplorasi pada......”
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan setelah presentasi juga mampu aku dan Ragunanzu jawab dengan memuaskan. Setelah presentasi itu, kami menjadi sering berdiskusi, baik soal pelajaran ataupun hal lainnya. Kami menjadi teman bicara yang cocok yang bisa saling mengimbangi.
Seiring berjalannya waktu, kami juga saling memanggil dengan sebutan keakraban. Aku memanggilnya “Gun”, sementara ia memanggilku “Can”. Kami juga semakin mengenal satu sama lain: makanan dan minuman kesukaan, benda-benda koleksi, hobi selain hal yang berkaitan dengan rasayana, dan lain-lain. Juga tentang keluarga masing-masing. Aku juga tahu bahwa dari tiga nama rangkaian nama lengkapnya, yang menjadi nama marganya adalah nama tengah atau nama kedua, bukan nama akhir.
Tentu saja, kami juga kerap berlatih bersama mengembangkan pugaba. Dari segi ukuran dan volume, kami sama-sama mencatatkan rekor: ia juga telah bisa membuat pugaba yang setara dengan pugabaku. Perbedaan pugaba kami: sementara aku lebih cenderung melatih rasayana aliran Barat, ia cenderung ke aliran Timur. Pugabaku lebih cenderung untuk bertahan, sementara pugabanya lebih untuk menyerang. Elemen yang Ragunanzu kuasai adalah elemen api, elemen udara atau angin, dan variasi baru elemen udara: asap panas atau yang disebut juga awan panas –aku dan Ragunanzu sendiri lebih sering menyebutnya dengan istilah awan panas.
Kami sudah saling mengerti hal-ihwal pugaba masing-masing. Misalnya, ia paham kenapa pugabaku kebanyakan memakai bentuk segitiga. Alasannya, karena aku lebih fokus di pertahanan, dan dari bentuk-bentuk geometris yang ada, segitiga adalah bentuk yang paling stabil dan tidak mudah pipih atau berubah bentuk.
Aku juga mengerti kenapa pugaba Ragunanzu bentuknya berbeda denganku: bentuknya didasrakan pada unit-unit virya. Ia lebih memusatkan untuk mengatur sekaligus melepaskan virya atau energi paling optimal mungkin dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dalam hal ini, penghitungan pubaganya lebih terkait dengan desain kombinatorial virya, bukan mengatur bentuk virya. Bisa dibilang bahwa penghitunganku adalah ‘matematika geometri dan topologi’, sedangkan penghitungan Ragunanzu adalah ‘matematika diskrit dan teori bilangan’.
Dalam bahasa awam yang lebih sederhana, dilihat dari kasat mata, pada pugaba Ragunanzu akan terlihat elemen-elemennya cenderung tidak beraturan bentuk seperti pugabaku. Tapi, saat pugaba Ragunanzu tecipta, akan terlihat angka-angka tertentu yang menunjukkan keterkaitan pengaturan virya dan bentuk dari pugaba tersebut.
Tentu saja, aku juga sudah paham akan emblem ekslusif yang saat ini ia kenakan. Ragunanzu membuat rancangan emblem sendiri, dan para anggota phalersitic, termasuk Pak Darun menilai emblem rancangannya semenarik rancanganku. “Berasal dari pengaturan susunan lingkaran angka-angka kuno, dikombinasikan dengan pengaturan dua susunan persegi angka-angka baru, dengan makna bentuk rancangan yang dalam,” begitu komentar Pak Darun.
Yang dimaksud dengan susunan angka-angka kuno, adalah susunan magic circle atau lingkaran ajaib yang dibuat oleh rasayana Timur bernama Yang Hui pada abad 12. Lingkaran ajaib tersebut adalah susunan bilangan-bilangan asli dari angka 1 hingga angka 33 menjadi satu angka pusat, empat lapis lingkaran dan empat garis atau diameter yang menunjuk delapan arah mata angin. Satu angka yang menjadi titik pusat adalah angak 9. Jumlah angka-angka di tiap lapis lingkaran sama dengan jumlah angka-angka di tiap diameter ditambah angka pusat, yaitu 147.
Jumlah keempat diameter masing-masing dari magic circle Yang Hui:
1. Diameter yang menunjuk arah timur dan barat = 28 + 5 + 11 + 25 + 9 + 30 + 14 + 21 + 4 = 147.
2. Diameter yang menunjuk arah utara dan selatan = 27 + 15 + 3 +24 + 9 + 10 + 23 + 16 + 20 = 147.