Satu minggu, setelah penyerahan penghargaan Adhi Makayasa, pada suatu malam yang khusyuk. Sudah empat jam lebih telah lewat sejak matahari menampakkan cahaya terakhir dalam satu hari ini. Di langit tanpa awan, giliran bulan menyinarkan pantulan cahaya dari matahari.
“Kamu yang paling awal ya.” Seorang bapak berkumis tebal dan berjanggut tipis menyapa melihat kehadiranku. Ia mengenakan jaket hijau tua tebal, celana panjang berbahan kain berwarna cokelat tua, dan topi kain biru tua di atas kepalanya. Di dekat mobil lelaki itu, terlihat berdiri dua orang pengawal. Kutebak dua pengawal itu tidak ikut melangkah mendekatiku atas perintah bapak itu.
Aku langsung memberi hormat kepada lelaki itu, “Selamat malam, Pak Mada.”
Sikapku membuatnya terkekeh, “Ahahaha...... kalau di sini tak perlulah formal-formal, saentana Catur,” ia menanggapi seraya mengulurkan tangan, yang tentu saja aku sambut dengan hal yang sama. Bapak bernama lengkap Mada Janu Rajalesveva itu memandang sekeliling tempat parkir yang baru ditempati mobil kami saja. Kemudian ia bertanya, “Kamu sopir sendiri?”
“Ya, saentana Pak Mada.”
Pak Mada bertanya lagi, “Paspampres belum kelihatan ya? Mungkin sebentar lagi. Temanmu itu bagaimana, kabarnya bersama Pakdhenya dan saentana Altaf?”
Tentu aku menangkap seratuspersen apa maksud pertanyaan lelaki yang saat ini menjabat Panglima Angkatan Bersenjata itu. “Ya, saentana Pak Presiden Nawa belum datang, dan telepon terakhir teman saya memberitahu kalau akan berangkat bersama saentana Pakdhe Sam,” jawabku.
Pak Mada menepuk pundakku, “Mari tunggu di kursi di luar ruang Prisma Oktagon itu. Paling tak sampai seperempat jam sudah datang semua, dan kita bisa meng-oktagon.”
“Baik, mari,” aku menuruti. Mengakhiri percakapan di area parkir, kami berjalan bersama.
Yang dimaksud Prisma Oktagon, adalah di dalam bangunan yang kami sebut ‘Pesanggaran Falsafah lan Kawruh’. Bangunan itu adalah salah satu dari gedung-gedung yang tersebar di seluruh negeri yang dimiliki komunitas Nalarangka. Selain di wilayah negara ini, terdapat juga beberapa bangunan serupa di negera-negara lainnya.
Gedung kami fungsi utamanya adalah untuk pertemuan antar-anggota. Sangat sedikit orang yang bukan anggota Nalarangka bisa masuk, tentunya harus disertai alasan yang kuat dan pertimbangan yang ketat –karena itulah Pak Mada memerintahkan pengawalnya menunggu di luar. Hampir sebagian besar orang yang bukan anggota yang diizinkan masuk adalah sejarawan dan wartawan.
Ada syarat-syarat tertentu untuk menjadi anggota Nalarangka, yaitu: laki-laki, berumur minimal 18 tahun, tidak pernah terlibat tindakan kriminal, akan dinilai apakah nanti bisa mengikuti pengajaran dan diskusi Nalarangka oleh anggota lain, juga harus bisa membuat pugaba minimal empat kali ukuran manusia dewasa. Syarat ukuran pugaba minimal yang bisa dibuat memiliki keterkaitan dengan dau hal: organ ‘corpora quadrigemina’, dan filosofi ‘sedulur papat limo pancer’, filosofi tentang penyelarasan makrokosmos dan mikrokosmos tersebut telah lama eksis di kalangan para pendiri Nalarangka. Filosofi itu kerap disebut juga dengan ‘kiblat papat limo pancer’.
Tentang sebutan, Bangunan Pesanggaran Falsafah lan Kawruh punya sebutan-sebutan lainnya: Sanggar, Sanggarastha, Asthagrha, Prismastha, Prisma Oktagon, Lokacitya, Pakawruhan Wolu, Padepokan Delapan, Pancar Sangantuju, Mercusuarua, Gedung Pijar Lapan, dan lain-lainnya. Sebutan-sebutan tersebut berkaitan dengan “ilmu”, “filsafat”, “mercusuar”, ataupun tampilan fisik yang khas yang sama dari tiap gedung-gedung yang serupa: fisik bangunan yang dirancang dengan bentuk oktagon.
Tentu ada alasan dan filosofi tersendiri mengapa oktagon atau segi delapan dipilih menjadi dasar bentuk bangunan. Misalnya filosofi angka delapan yang dalam tradisi rasayana Timur melambangkan hikmat kekayaan yang melimpah. Menurut kelompok rasayanas alirat Barat di era bahari, kelompok Pythagorean, angka delapan menyimbolkan pikiran atau gagasan, daya kreasi, kebijaksanaan, dan persaudaraan.
Bentuk oktagon juga telah digunakan pada bangunan-bangunan rancangan rasayanas terdahulu. Misalnya Sher Mandal, bangunan yang dibangun sekitar abad 15 karya para rasayana Timur, yang diperkirakan dulunya digunakan sebagai perpustakaan. Contoh lain adalah Horologion Andronikos Kyrrhestes atau yang disebut juga dengan Aerides atau Menara Angin, bangunan yang sudah dibangun pada 2 abad Sebelum Masehi, sebagai tempat penelitian horologi atau studi tentang pengukuran waktu.
Namun, alasan utama pemilihan bentuk oktagon adalah karena oktagon memiliki keterkaitan dengan ‘rasio perak’ atau ‘silver ratio’. Dalam matematika, rasio perak adalah sebuah rasio antara dua nilai dimana rasio jumlah nilai terkecil dan jumlah dua kali nilai terbesar terhadap jumlah nilai terbesar sama dengan rasio nilai terbesar dengan nilai terkecil. Rasio yang dilambangkan dengan δS ini mempunyai sebutan lain yaitu ‘rata-rata perak’ atau ‘bagian perak’.
Spiral rasio perak sendiri digunakan untuk simbol Nalarangka, ditempatkan di tengah bentuk oktagon. Terkadang, simbol tersebut ditambahi huruf-huruf: “/\/\” yang merupakan gabungan huruf NA di bagian tengah, lalu huruf L, /\, R, /\, /\/, G, K, dan /\ di kedelapan sisi oktagon. Karena tampilannya yang seperti jam, simbol tersebut kerap kami sebut sebagai ‘Adhyasta Kala’. Oleh masyarakat umum sendiri, simbol kami juga sering mendapat sebutan ‘Jam Nalarangka’.
Tentang sebutan, setelah kami menyebut bangunan pertemuan sebagai “Prismastha” atau “Sanggar” atau sebutan lain, bisa diikuti dengan menyebut tempat atau nama tiap Prismastha. Misalnya di Prismastha yang aku datangi ini disebut Prismastha Akademi Rasayana –karena memang berada di kompleks Akademi. Sebutan Prismastha lain contohnya, Prismastha ‘Pusaka Pancer Keprabonan’ yang sering dikunjungi Presiden Nawa, Pak Mada, dan Pakdhe Sam.
Untuk Pakdhe Sam sendiri, sebenarnya Prismastha Pusaka Pancer Keprabonan merupakan ‘Prismastha pelantikan’, istilah kami untuk menyebut di mana Prismastha seorang saentana diterima dan dicatat menjadi anggota Nalarangka. Tentu saja Prismastha pelantikanku –bersama Ragunanzu, adalah Prismastha Akademi. Setelah menjadi anggota Nalarangka, tiap saentana diperbolehkan menghadiri pertemuan di Prismastha manapun.
Aku dan Ragunanzu sudah pernah bersama mengikuti kegiatan di beberapa Prismastha lain selain Prismastha Akademi, termasuk di salah satu Pesanggaran di luar negeri. Di Prismastha di luar negeri tersebut, ada hal yang khas yang kami jumpai: pintu-pintunya menggunakan pintu geser. Memang meski memiliki bentuk dasar khas segi delapan, tiap-tiap Prismastha memiliki dimensi ukuran, ornamen, dan bagian-bagian lain yang bervariasi–seperti pintu, jendela, atap.
Kebanyakan, gedung-gedung pertemuan kami sudah berusia seratusan tahun. Salah satu Prismastha yang telah berusia ratusan tahun adalah Sanggar Akademi ini. Bahkan, Prismastha ini didirikan terlebih dahulu daripada Akademi Rasayana. Nama formal Prismastha ini adalah Prismastha ‘Abiwara Adhi’, atau ‘Pelajaran Agung’. Baru saat Akademi Rasayana didirikan, Prismastha ini kerap mendapat julukan Prismastha Akademi, meski nama formalnya tidak berubah.