Sekitar 13 bulan berlalu setelah aku menerima penghargaan Adhi Makayasa. Di suatu padang sabana, pada suatu hari Selasa. Ketika bintang-bintang masih bisa menampakkan titik-titik cahayanya di antara langit hitam.
Raungan empat baling-baling yang digerakkan dua mesin dari sebuah helikopter multifungsi AH-60 masih terdengar, saat aku dan Ragunanzu menginjakkan kaki berbalut sepatu tempur, di suatu landasan helikopter atau helipad. Di sekitar kami, terdapat 6 landasan helikopter, dengan 4 helikoter AH-60 lain telah mendarat di helipad-helipad portable tersebut. Portable, atau dapat dipindahkan, karena memang saat ini kami berada di sebuah kamp militer semi-permanen.
Kamp militer ini baru dibuat sekitar sehari lalu, untuk menunjang misi khusus kami. Kamp ini dirancang untuk bisa menampung alat-alat militer juga sarana-prasarana yang dibutuhkan untuk serdadu berjumlah maksimal satu kompi atau 225 orang. Berdasarkan informasi, saat ini sudah ada 180 orang pasukan militer reguler, ditambah 9 orang dari korps baju hitam. 9 rasayana adalah: aku dan Ragunanzu, 6 orang prajurit rasayana yang lebih dulu tiba, juga seorang yang telah aku dan Ragunanzu kenal secara pribadi: saentana Barata Ekadanta Kirussan, pimpinan Komando Gabungan Wilayah I.
Tentu saja, karena ini merupakan lingkungan umum, saat kami melapor kepada Pak Barata nanti untuk menerima briefing tindakan selanjutnya, kami tidak akan menyebutnya dengan panggilan saentana. Hal yang sama untuk 4 rasayana lain di kamp ini, yang baru-baru ini menjadi anggota Nalarangka: Arie Arifin Djongki, Hans Riojo Amananunna, Rigara Radu Wasesibisana, dan Jeffrin Scholani Saputra. Begitu juga Pak Barata yang berkomunikasi langsung dengan Presiden Nawa, tidak akan mengucapkan sebutan saentana.
Dibawah pengawasan langsung presiden: memang misi khusus ini begitu penting. Suatu operasi untuk menghadapi lawan yang tak biasa, sampai kamp ini harus didirikan. Kamp militer sementara ini, dibangun untuk pusat komando operasi penyerangan sarang sumber merebaknya monster garet.
Monster-monster garet itu muncul sekitar empat hari yang lalu. Mereka bergerak dari wilayah sabana ini menuju kota-kota terdekat lalu menyerang manusia dan hewan-hewan mamalia, diperkirakan mereka bisa menemukan manusia dan hewan mamalia dengan indera penciuman mereka. Akibat kejadian itu, sudah jatuh berguguran para manusia hingga mencapai ribuan korban, termasuk dua orang rasayanas di dua kota berbeda. Manusia yang terkena serangan monster itu, dapat berubah menjadi monster itu, karena itulah mau-tak-mau harus segera dibunuh.
Beruntung, pemerintah bertindak secara sigap, termasuk menurunkan pasukan Gabungan Wilayah I, sehingga tidak jatuh korban jiwa lebih banyak lagi. Saat ini, para penduduk kota telah diungsikan, dan kota tanpa kalangan sipil tersebut dijaga polisi dan para pasukan militer –reguler dan juga korps Rasayana. Seluruh perimeter pulau ini juga dijaga pasukan gabungan, mengingat belum diketahui apakah monster garet bisa berenang antar-pulau.
Berdasar laporan dan rekaman kamera pengawas, ukuran tubuh monster itu bervariasi, dari sebesar anak balita sampai dua kali tubuh orang dewasa. Tapi mereka itu punya kesamaan: gigi tajam, kulit kasar berwarna abu-abu dengan benjolan-benjolan kecil sehingga terlihat seperti baju zirah, tangan tanpa jari-jari, kepala yang tak berambut yang berukuran sebesar kepala manusia dewasa. Monster-monster itu juga mengeluarkan suara mengkerat atau menggaret, seperti bunyi saat tupai menggerek kelapa –itulah asal nama monster garet tersebut.
Dilihat dari jumlah monster yang muncul dan menyerang, diperkirakan mereka bisa berkembang biak dengan cepat, dan diduga mereka bisa membelah diri. Memang masih banyak hal yang diketahui secara pasti dari monster itu, termasuk dari mana mereka berasal. Kuat dugaan, bahwa monster garet awalnya adalah turis-turis yang datang ke pulau ini dan diam-diam memakan hewan langka naga komodora. Daging dan bakteri-bakteri dari komodora yang masuk ke tubuh para wisatawan tersebut, mengakibatkan mutasi yang membuat mereka berubah menjadi monster garet.
Komodora sendiri adalah biawak berbisa dengan ukuran paling besar di seluruh dunia, dengan ukuran rata-rata mencapai 6-9 meter. Selain perkembangbiakannya tidak cepat, hewan itu juga kerap bertarung dengan sesamanya. Hal itu menjadi faktor-faktor mengapa komodora rentan punah.
Di pulau ini sebenarnya berlaku hukum adat bahwa komodora sendiri tak boleh dimakan. Selain untuk menjaga jumlah komodora, juga demi kebaikan manusia sendiri. Sekarang, diduga akibat ulah beberapa manusia yang menuruti nafsu mereka, muncul monster anggara-ganas yang berkembang biak dengan cepat yang mengancam nyawa manusia.
(***)
Tepat saat mentari beroperasi memancarkan kirananya ke bumi, operasi kami dimulai.
‘Operasi Anggara’, begitulah misi ini disebut. Kata ‘Anggara’ dipilih karena kata tersebut memiliki dua arti: ‘buas’ dan ‘Selasa’. Buas, tentu merujuk pada monster garet yang kami hadapi. Sementara Selasa, merujuk pada hari saat kami melaksanakan penyerangan ini. Sesuai arahan Pak Barata, “Kita harap dan usahakan, dalam satu hari ini kita bisa membasmi tuntas sarang garet.”