“Kalian, selalu bersiaplah untuk mengemban tugas operasi lain lagi, dan dari situ kalian akan mendapat pengalaman yang makin banyak.....” ucap bapak itu pada kami, “......Saentana Kolonel Catur dan saentana Kolonel Ragun,” dengan menyebut panggilan kami di militer dan Prismastha.
Kolonel Catur dan Kolonel Ragun. Memang, aku dan Ragunanzu telah menerima kenaikan pangkat. Dua tingkat langsung: dari Mayor melewati strata Letnal Kolonel, kami langsung mendapat pangkat Kolonel –pangkat tertinggi dalam jenjang perwira menengah. Sesuai perkiraanku, militer menganggap kami pantas mendapatkannya begitu kami menggunakan pugaba kami di medan sesungguhnya.
Operasi Anggara untuk membasmi monster-monster garet sudah dirilis kepada masyarakat luas. Termasuk kabar tentang pugaba yang aku dan Ragunanzu ciptakan, media menyebutnya spektakuler dari segi ukuran maupun kekuatan. Begitu pula kenaikan pangkatku dan Ragunanzu, sudah diketahui khayalak via berita-berita. Publik tidak menentang kebijakan kenaikan pangkat kilat kami, mereka beropini hal itu wajar dan justru bagus bila negeri ini memiliki rasayanas yang bisa membuat pugaba kelas wahid.
Menurutku sendiri, pemerintah dan militer sudah pasti punya pertimbangan dan perhitungan untuk melansir berita tentang pugabaku dan pugaba Ragunanzu di Operasi Anggara: berkaitan dengan politik. Relasi antar-negara saat ini pasang-surut tak menentu, ada bayang-bayang ancaman pecah konflik yang bisa timbul kapan saja. Dengan menyebarkan kabar bahwa negara ini memiliki rasayanas tingkat adiluhung, bisa semakin menaikkan nilai tawar negara ini. ‘Dua rasayanas dengan kekuatan yang bisa mengalahkan ratusan rasayanas lain, juga ribuan pasukan reguler bersenjata lengkap’, berita-berita seperti itu akan menjadi isyarat urat syaraf dengan zamin-zamin lainnya.
Niscaya, bila memang aku dan Ragunanzu harus turun ke laga melawan sesama manusia, kami siap menunaikan tugas. Tapi tetap saja kami sadar, kami sama sekali belum pernah merasakan asam-garam di pertempuran antar negara. Karena itulah, pada hari ini ketika kami mempunyai waktu dan kesempatan untuk meng-oktagon di Prismastha Pusaka Pancer Keprabonan, kami membicarakannya dengan seorang yang telah lebih lama menempuh lika-liku kemiliteran.
Bapak berpengalaman itu meneruskan kalimatnya, “Memang, aku, atau saentana Mada dan saentana Barata –saentana Barata kalau tak salah sekarang ia pindah operasi ke wilayah II kan?”
“Benar Pak Mada,” jawabku. Memang Pak Barata telah berpindah tugas dari pimpinan Komando Gabungan Wilayah I ke Wilayah II –wilayah yang mencakup daerah pusat negara ini, termasuk ibukota. Kabarnya, sebenarnya sudah lama Pak Barata akan ditarik ke wilayah pusat.
“Nah,” Bapak itu melanjutkan, “Memang, aku, saentana Mada, dan saentana Barata, koleksi kenangan kami berlipat dibanding kalian, di peperangan kami sudah lebih banyak menyaksikan dan melakukan –kalian di Akademi pasti tahu ungkapan ini: ‘Terkadang sesuatu hanya bisa diselesaikan dengan menyabung kekuatan’....... Dari peperangan, selain pengalaman yang kami dapat, itu juga menjadikan kami memandang dan memikirkan sesuatu dengan berbeda......” Bapak sang pemimpin negara itu tidak meneruskan kalimatnya.
Setelah beberapa kali jeda dalam kalimat-kalimatnya, Presiden Nawa, bapak itu, mengubah penyampaian dan menawarkan, “Kulihat semua saentana sudah datang, dan sekarang sudah tiba waktunya. Bagaimana kalau setelah ini kalian ke rumahku? Kalian tahu kan, di kompleks perumahan ‘Umah Mindaprastha-Qila IV 7’. Nanti di sana kita bisa bicarakan soal yuda ini.”
“Baik, saentana Pak Nawa, kami bisa ke Umah Mindaprastha-Qila Blok IV no 7 setelah ini,” ucapku, dengan menyebut ‘kami’ tanpa meminta persetujuan Ragunanzu.
Tapi tentu saja sesuai prediksiku Ragunanzu sendiri juga memberikan pernyataan senada, “Ya, kami bisa ke rumah saentana Pak Nawa sehabis ini.”
“Nah, bagus.... di sana bisa kita lanjutkan. Dan, kau saentana Ragunanzu? Kau akan menjadi ‘pemantik’ kali ini bukan?” tanya Presiden Nawa. ‘Pemantik’ adalah istilah Nalarangka untuk saentana yang menjadi pembuka suatu topik pada diskusi saat meng-oktagon.
Ragunanzu membenarkan, “Ya. Saya akan memantik tentang topik simbol Adinkra, simbol dari tradisi rasayana Timur. Termasuk tentang seorang rasayana Barat saat ini, Sylvester James Gates,yang meneliti dan mengeksplorasi Adinkra untuk studi teori supersimmetris dan rasayana gravitasi-nya.”
“Itu menarik,” komentar Pak Nawa.
Saat itulah secara kebetulan Pak Mega datang. “Apa kabar saentana? Saya badan garet satu datang,” katanya sambil menjadikan candaan tubuhnya yang gemuk dengan sebutan ‘badan garet satu’, merujuk pada badan monster garet berbadan besar yang bisa membelah diri.
“Baik, baik, saentana Mega. Mari masuk,” balas Pak Nawa seraya mengajak kami meninggalkan teras Prismastha dan masuk ke ruang pertemuan
Ruang pertemuan yang akan nanti kami gunakan adalah ruang oktagon paling besar di seluruh negeri. Tentu saja, karena Sanggar Pusaka Pancer Keprabonan adalah Prismastha Nalarangka terbesar se-negara. Ruang pertunjukannya saja memiliki kapasitas hingga 1.500 orang, yang tersusun pada dua tingkat. Prismastha ini juga mengelola sebuah museum yang terbuka untuk umum.
Selain itu, ada yang unik dari Prismastha ini. Pada bagian tamannya, Prismastha ini menyimpan pohon yang sangat lambat perkembangbiakannya sehingga membuat pohon tersebut begitu langka: Pohon Wak-Wak. Pohon Wak-Wak adalah pohon berakar gantung, namun akar gantungnya benar-benar berbeda. Di ujung akar gantungnya terdapat bulatan yang berupa buah. Buah pohon tersebut bergerak kembang-kempis, menjadi sumber suara ‘Kwaak... kwaak.... kwaak... ‘. Yang unik –dan mungkin bisa membuat bergidik: tekstur, lekukan, dan kulit buah Pohon Wak-Wak terlihat seperti kepala seorang manusia.