Hampir berakhir musim tuarang, dan musim penghujan akan datang. Akan tiba masa-masa, pada saat siang hari sinar matahari akan kerap diselingi dengan turunnya hujan. Hari ini, saat mentari masih memancarkan penuh teriknya, suatu hari ketika aku mendapat jatah libur dari kedinasan korps rasayana.
Sendirian menyetir kendaraan, aku menuju sebuah tempat. Lokasi yang kutuju saat ini merupakan rekomendasi dari Lamdani Kramatahati, rekan sesama korps baju hitam yang berpangkat Mayor. Berselang setengah jam sejak aku memulai perjalanan, akhirnya aku sampai di tujuan: Kampung Padma Udyana.
Meski memakai kata ‘Kampung’, tempat ini bukan merupakan sebuah perkampungan tempat rumah-rumah tinggal penduduk. Kampung Padma Udayana adalah sebuah tempat wisata bernuansa perkebunan yang luasnya mencapai 2,64 km2. Tempat yang dikelola pemerintah ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas: dari wisata kebun buah, kolam pemancingan, permainan air, outbond, perkemahan, klub equestrian, dan sebagainya.
Dari fasilitas-fasilitas yang tersedia, pada hari ini yang telah aku bayar dan berhak aku pakai adalah gedung bernama ‘Pondok Kreasi-Edukasi Sekar Srengéngé‘. Aku adalah salah dari 33 peserta kegiatan berkebun yang menyewa gedung ini, melalui koordinasi pengurus komunitas ‘Solak Berbustan’. Pada kegiatan ini, ada sekitar 11 anggota komunitas yang namanya berarti ‘Suka Berkebun’ tersebut, yang datang dengan sebuah bus mini sewaan. Sementara 22 orang sisanya adalah individu-individu non-Solak Berbustan yang tertarik mengikuti program yang ditawarkan. Karena kegiatan kami mematok tarif tertinggi untuk kegiatan serupa, kami mendapat imbal balik fasilitas, layanan, dan jaminan yang prima.
Agenda kali ini adalah praktek membuat boneka horta dan boneka potty. Boneka horta, bisa didefinisikan sebagai media tanam yang terbuat dari bahan serbuk kayu dan perpadanan bahan-bahan hidroponik yang kemudian dibentuk sedemikian rupa seperti boneka. Pada boneka ini, dapat disematkan bibit tanaman seperti rumput gandum. Istilah horta berasal dari kata ‘hortikultura’, sementara kata hortikultura sendiri berasal dari dua bahasa Latin: ‘hortus’ yang berati ‘tanaman kebun’, dan ‘cultura’ atau ‘colere’ yang berarti ‘budidaya’.
Sementara boneka potty, adalah variasi boneka horta yang dirancang sebagai pot. Boneka potty adalah pengembangan dari boneka horta yang dirancang sebagai pot. Pada boneka potty, benih yang dapat disemai lebih banyak aneka ragamnya dibanding boneka horta. Dari segi pemakaian, boneka horta hanya digunakan satu kali, sedangkan boneka potty dapat digunakan berkali-kali.
(***)
Sudah jelas. Sudah kupastikan: ini bukan cuma perasaaanku!
Dengan mataku yang sudah terlatih kemiliteran ini, aku bisa memastikan bahwa wanita yang duduk di samping kananku ini berkali-kali mencuri pandang ke arahku. Bukan cuma perasaanku saja bahwa perempuan itu melirikku, kenyataannya memang demikian. Tapi tentu saja, aku tak punya kemampuan telepati. Aku hanya bisa menduga-duga, kenapa wanita itu bertingkah seperti itu.
Sembari mencoba tetap menyisakan konsentrasi untuk membentuk boneka horta, pikiranku mempertimbangkan apa yang akan kulakukan. Aku membatin, bagaimana selanjutnya..... bagaimana.... mari kulihat tersangka sekali lagi, untuk pertimbangan. Satu kala lagi, mataku memperhatikan perempuan itu.
Aku menakar dan menerka: Tidak ada yang salah denganku bukan, dengan penampilan atau bajuku? Kenapa dia berkali-kali berusaha menatapku? Apa karena wajahku? Apa karena ia sadar duduk di samping seorang Kolonel Caturtus? Apa.... oh mungkin saja –karena boneka horta yang aku bentuk? Mungkin ia penasaran mengapa aku membawa penggaris dan alat ukur lain? Mungkin juga karena semua itu?
Sebelum mengambil tindakan, aku bernala-nala dan membandingkan: Pikir-pikir, perempuan ini... Mungkin usianya sekitar 20 tahunan. Tingginya? Kuperkirakan aku lebih tinggi 15-20 cm. Paras? Aku bisa menilai ia punya wajah cantik. Jujur saja, aku bisa membuat komparasi, kalau sekarang aku membuat daftar ‘wanita berwajah tercantik yang pernah kutemui’, dia akan masuk ke urutan nomor satu menggeser posisi wanita-wanita yang pernah bersua denganku sampai saat ini. Dan karena itu.....
Maka, berdasarkan berbagai alasan dan perhitungan, aku telah menetapkan langkah selanjutnya. Tinggal menunggu kesempatan datang lagi. Estimasiku, besar kemungkinan ia masih akan melirik ke arahku lagi. Saat itulah aku bisa mengandalkan refleksku yang telah terlatih.
Pada suatu detik, perkiraanku –dan harapanku– terjadi. Perempuan itu mengulangi tindakannya, melirik ke arahku. Saat itulah tanggapan spontanku dimulai. Dalam sepersekian detik, aku membungkukkan sedikit badanku sembari menolehkan kepala ke kiri, membuat pupil dan iris kami saling beradu dalam satu garis pandang.
Perempuan itu terlihat terkejut. Secepat kilat ia menoleh ke kanan membuang mukanya. Ekspresi sipu-malu terlihat di wajahnya yang berubah menjadi kemerahan, yang membuatku tertawa dalam hati, Hahahaha. Aku membatin: Mata dihadapi dengan mata, nona. Dan sekarang aku akan mengambil kesempatan untuk membuka peraduan-tutur. “Ada apa, nona?” tanyaku.
“Eh.... ya.... sa-saya salah, maksud saya....” ia salah tingkah dan tak bisa memberikan jawaban. Pertama kali mendengar suara perempuan itu, aku berpendapat: suara yang secantik wajah dan seimut tingkahnya.
Aku masih memegang kendali, “Mungkin, nona melihat boneka yang kubuat dan penasaran bentuk apa ini?”
“A..... ya, itu begitu.... seperti itulah, benar, tuan....” katanya masih dengan terbata-bata.
Aku tersenyum sambil mengarahkan boneka horta buatanku memperlihatkan lebih dekat kepada perempuan itu. Memang, boneka buatanku tidak berbentuk binatang atau tumbuhan atau obyek-obyek umum lainnya seperti rumah atau mobil. Pertama bahan serbuk kayu aku susun berbentuk lingkaran –atau tabung tipis, lalu di bagian atas aku sayat menampakkan garis-garis tipis, kemudian aku menambahkan serbuk lain membentuk sebuah spiral dari bawah ke pusat pada bagian atas tersebut.
Sebelum menjelaskan bentuk apa yang kubuat, aku bertanya, “Menurut nona, ini apa?”