“Itu pertanda. Sudah pasti, menurutku.”
Aku tak melanjutkan menanggapi Ragunanzu. Waktu itu, kami sedang duduk dengan menyelanjarkan kaki kami, di sebuah kursi kayu di teras barak militer. Barak yang ada di ibukota ini sebenarnya lebih banyak ditempati anggota militer reguler, sedangkan anggota korps Rasayana jumlahnya bisa dihitung dengan dua telapak jari tangan.
Hujan masih turun, meski tak intensitasnya telah menurun dibanding beberapa menit lalu, saat kami mengakhiri tubian fisik dan pugaba rutin kami. Pada latihan itu, kami memang sengaja berlatih di bawah guyuran hujan deras. Memang, kami harus terbiasa untuk menghadapi kondisi apapun, dan latihan tersebut adalah salah satu caranya.
Aku dan Ragunanzu yang telah mandi dan berganti pakaian, mengobrol sembari menikmati minuman energi hangat produksi militer. Pada kesempatan ini, aku mengungkap topik tentang Nalinindu, gadis yang aku temui satu setengah bulan lalu. Pertama kali aku membicarakan Nalinindu, beberapa kali pula Ragunanzu bertanya dan berkomentar, beberapa kali juga aku menyautnya. Sampai saat ia berkata ‘tanda-tanda’ tadi, aku tak diam saja.
Ragunanzu berkata lagi, “Begini, Can. Kau sampai memberi dana penampungan kucing padahal selama ini kau tak punya dan tak tertarik dengan hewan peliharaan. Kalian sudah beberapa kali berkelintaran dan menurutmu dia senang-senang saja. Lagipula kau mengaku alasan jalan juga tak sebenarnya penting-penting amat, tapi kalian suka-suka saja. Bukankah itu artinya bagi kalian yang terpenting adalah bertemu? Dan bersua via suara –kau sendiri bilang ia pernah menelponmu sampai setengah jam.”
Aku angkat bicara lagi dengan menjawab singkat, “Ya.”
“Seorang Caturtus tidak memutus telepon satu jam lebih itu, tanpa berat hati ia mau saja mencerap dan meladeni sang gadis. Dan gadis itu, yang kini kau sebut Nalini, atau nona Bulan atau nona Socarahina atau Matahati, yang awalnya begitu salah tingkah sekarang tak tahu kabar sedikit saja jadi gelebah.“
“Ya begitulah.”
“Nah. Bukankah itu seperti lampu hijau di perempatan?”
“Ya kupikir tidak salah.”
Ragunanzu meneguk isi gelasnya, membuat minuman energi tak bersisa lagi. “Apa kau pikir, di jalan dari samping di perempatan itu ada si Guntur Ashiyaf Taatimmi itu? Yang bisa menabrakmu begitu kau melintas?” lanjut Ragunanzu, “Ya menurutku sih dia tak ada apa-apanya dibandingmu. Mau adu tabrakan maju aja, Can. Pasti ‘raja kring-kring alay’ itu yang terpental. Ya, kau tak ada dua bulan nona Bulan sudah solak padamu, sementara dia sudah se-caturwulan tak dianggap.”
Lekukan tercipta di dua ujung bibirku, senyum yang terkembang akibat mendengar perumpaan Ragunanzu tentang lampu hijau dan tabrakan di perempatan. Guntur Ashiyaf Taatimmi, yang Ragunanzu singgung, adalah seorang aktor dan presenter. Lelaki yang seumuran denganku itu juga seorang pengusaha yang memiliki beberapa produk dagangan, seperti baju dan aksesoris-aksesoris. Baik acara televisi yang dibintangi maupun barang-barang dangannya, demografi segmen pasar utamanya adalah para remaja yang sedang mencari jati-diri.
Guntur, sesuai yang diceritakan Nalini, sudah saling kenal sejak 4 bulan lalu. Mereka berdua saling kenal dari seorang teman Nalini yang juga merupakan teman Guntur bernama Rambu. Sejak saling kenal, Guntur mengudak-paksa perhatian Nalini, dari menelepon sampai memberi berbagai bingkisan dan banda. Wanita Socarahina itu tak membalas isyarat dan usaha Guntur. Benda-benda pemberian Guntur telah diberikan kepada orang-orang lain, dan Nalini juga telah mengganti nomor telepon untuk menghindari panggilan Guntur.
Nalini mengaku ia sampai terganggu dengan ulah Guntur. “Aku seperti diteror guntur yang memekakkan telinga,” Nalini mengaku kepadaku. Sebenarnya secara Nalini pernah menyampaikan secara eksplisit pernah menyampaikan kepada Guntur bahwa sebaiknya Guntur berhenti berharap mereka menjadi selarap. Nalini juga sudah meminta Rambu untuk menyampaikan kepada Guntur bahwa sebaiknya Guntur mencari arah baru –yang tentu Rambu lakukan karena merasa sedikit bersalah juga mengenalkan Guntur kepadanya. Namun permintaan Nalini tak dituruti si persona televisi itu.
“Si Guntur itu, coba sekalian ajak bertemu deh,” kata Ragunanzu, seraya meninju pelan bahu kananku, menunjukkan jiwa korsanya, “Kalau perlu bantuanku aku siap.“ Ragunanzu menyambung, “O, ya. Aku kurang tahu tentang raja kaya si Guntur. Tapi kalau dia menyinggung dan membandingkannya denganmu, bilang saja: ‘Tunggu sampai alumnus Akademi Rasayana dengan Adhi Makayasa ini berbisnis. Ya, tentu aku juga siap membantu sebagai sesama lulusan Akademi.“
“Hmm, rasayana.....,” mataku terpejam saat aku terpikir hal lain begitu mendengar kata ‘rasayana’. Kemudian aku melisankan apa yang kupikirkan. “Hei, Gun. Apa pendapatmu, tentang pandangan orang umum terhadap rasayana, dan Akademi?”
“Kenapa tiba-tiba bicara be–“, Ragunanzu mengubah arah kalimat, “Ya, kurasa kita pernah mengobrol tentang ini, bahwa banyak yang mengagumi Akademi, di sisi lain banyak juga yang memandang dengan curiga dan takut.” Ragunanzu menghubungkan pertanyaanku dengan topik yang kami bahas, perjodohan,“Dalam konteks calon mertua calon pengantin, kupikir sudah jadi pandangan banyak orang kalau rasayana, kalau korps kita itu punya nilai lebih. Dan itu hal yang wajar. Itu hal yang pantas, karena kita dan rekan-rekan sendiri telah bekerja keras.”
“Ya, memang demikian,” ujarku dengan mata yang masih terpejam, “Tapi, ada hal yang belum kuceritakan padamu.”
“Apa itu?”
Setelah mengambil jeda beberapa detik, aku membuka mata dan menyampaikan, “Nona Mata-Hati ini. Dari interaksiku dengannya sampai saat ini, yang kutahu ia tidak suka dan takut dengan hal-hal yang berkaitan dengan rasayana dan Akademi.”
“Hee....?”
“Ya. Misalnya seperti konsep penghitungan, aku pernah bicara dengannya, sampai saat ini Cuma sekali saja. Waktu pertemuan pertama kami, saat itu tentang spiral-spiral. Setelahnya kalau mengobrol tentang perhitungan ia memintaku bicara topik lain saja. Begitu pula kalau aku mencoba bicara tentang para rasayanas, sejarah Akademi, pugaba-pugaba, dan semacamnya, dia selalu menghindar.”
“Apa begitu?”
“Ya, waktu pertama kami bertemu, tiap aku bicara tentang itu, kutangkap –menurut perasaanku saja, ekspresinya bercampur-aduk. Lalu suatu saat aku sudah bisa membujuk sang nona untuk menyuarakan pendapatnya, secara jujur. Dan ya, secara eksplisit ia bilang ia tak suka dengan dunia rasayana. Selain konsep-konsep yang menurutnya memusingkan, ia juga bilang rasayana bisa mendatangkan hal-hal yang berbahaya, yang bisa mengguncang pemikiran dan kesalehan-ketakwaan.”
“Begitukah....”
Aku menambah, “Menurutnya, memang para rasayanas telah melakukan hal-hal yang hebat, yang berguna, seperti saat kita membakar monster-monster garet. Tapi tetap saja, bagi nona Mata-Hati, kita bisa menjadi penghancur yang mengerikan.“
“Tapi.....” Ragunanzu tak meneruskan kalimatnya.