Aku telah mendapat sebuah kalung dari Nalini, yang ia katakan sebagai balasan untuk pemberian kalung sepasang spiral emas. Kalung peragih Nalini sebagai tanda kasih itu bertipe dog-tag, yang terbuat dari metal tahan korosi. Pada lempengan ‘tag’ kalung itu, terukir sebuah gambar kucing –dengan wajah mirip wajahku, lalu di bawah gambar terukir tulisan ‘CAT’, lalu di bawahnya lagi terukir tulisan ‘URTUS’ yang berukuran lebih kecil. “A.... ku.... aku aku tidak punya alasan seperti spiral Catu atau apa, dan.... dan.... tulisan C-A-T itu memang...... yang kurasa kalung itu hanya lucu,” kata Nalini tanpa menantapku, waktu memberikan kalung itu.
Aku yang mengalungkannya sendiri ke leherku bilang kepada si pemberi, “Aku suka. Terimakasih kasihnya Nalini. Coba kamu lihat aku.” Nalini menoleh ke wajahku, ia tak menyahut sepatah katapun, namun memberikan senyuman dengan roman manis khasnya. Peristiwa seperti di novel-novel romansa itu, terjadi sehari sebelum aku dan Nalini berangkat ke rumah orangtua Nalini untuk mensyarahkan hubungan kami.
Dari hasil sowan dan ramah-tamah di rumah orangtua Nalini, aku dan Nalini telah mendapat tanda setuju dari kedua orangtua Nalini. Tiga minggu setelah aku memberi Nalini kalung berbentuk sepasang spiral emas, kami berdua resmi menjadi terikat dengan status sepasang pacangan, alias tunangan. Selain ayah dan ibu Nalini, pertunangan itu juga direstui dan disaksikan secara langsung oleh ayah dan ibuku. Masing-masing orangtua kami dan kami sepakat, untuk menikah Nalini harus terlebih dahulu menyelesaikan kuliahnya, karena itulah kami mengikat tali perjanjian dalam status pertunangan.
Saat itu, orangtuaku datang dengan disopiri oleh Pak Pradi. Sedangkan aku datang bersama Nalini dengan mobilku. Kediaman orangtua Nalini berada di daerah pegunungan, dengan area sawah dan perkebunan yang masih luas. Tempat yang begitu asri dan sejuk, pada suatu sungai yang aku lewati aku bisa menyaksikan sungai yang airnya masih sangat jernih.
Ayah Nalini, Pak Badra Sembada Socarahina, merupakan seorang petani berbagai jenis hasil-hasil agraria, dengan produk pertanian utama berupa tembakau. Di samping rumah dua lantai Pak Badra, terdapat gudang besar yang tingginya menyamai tinggi rumah Pak Badra. Putra pertama Pak Brata atau kakak laki-laki Nalini, Bhagavad Candra Socarahina, yang seumur denganku, telah dipersiapkan untuk meneruskan bisnis pertanian Pak Badra. Bhagavad yang saat ini sudah membangun rumah sendiri, tidak bisa mengikuti pertemuan antar-keluarga kami karena ada urusan penting yang sudah direncanakan dari jauh hari.
Sementara Bu Tisna Baryarutala Socarahina, ibu Nalini, adalah seorang pedagang barang-barang kebutuhan sehari-hari dan aneka jajanan yang dijual di beberapa toko miliknya. Bu Tisna juga memiliki gudang di dekat rumahnya, tentu saja karena di toko-tokonya juga telah tersedia ruang penyimpanan. Wulan Nisakara Socarahina, adik perempuan Nalini yang saat ini masih menempuh pendidikan Sekolah Madya Atas, berminat melanjutkan usaha ibunya.
Dari pertemuanku yang belum seberapa lama dengan kedua orangtua Nalini, aku menyimpulkan Pak Badra adalah seseorang yang tidak tertarik dengan hal-ihwal rasayana. Sebaliknya dengan Bu Tisna, yang begitu antusias dengan rasayana. Bu Tisna dalam suatu kesempatan menyatakan, “Aku sangat bungah sekali lho, kami dari keluarga yang tak bisa pugaba, putriku bisa menikah dengan rasayanas. Apalagi dengan Kolonel Caturtus, yang mendapat Adhi Makayasa itu yang menyelamatkan manusia dari monster garet itu.”
Aku rasa, ibuku dan Bu Tisna akan menjadi besan yang akrab. Kutebak, selain alam yang indah, keberadaan Bu Tisna akan menjadi alasan bagi ibuku nanti untuk sering berkunjung ke rumah Pak Badra. Mereka terlihat begitu bisa saling menyambung dan memiliki energi yang setara dalam hal obrolan. Terakhir, setelah pertunangan, Bu Tisna menjadi pemandu dan mengantar ayah dan ibuku berkeliling di obyek-obyek wisata di kabupaten tempat tinggal Bu Tisna.
Sementara pada siang hari ini, aku masih dalam perjalanan bersama Nalini. Kami harus pulang karena memang masih ada kepentingan kampus dan korps. Saat ini Nalini menjadi pengemudi, karena ketika baru 15 menit perjalanan ia menawarkan diri untuk menyopir mobilku sehingga aku bisa beristirahat sebentar. “Lagian waktu berangkat Catu juga sudah mengemudi,” ujar Nalini. Aku setuju saja, dan memanfaatkan statusku sebagai penumpang untuk bisa tidur.
Aku terbangun ketika jarak tujuan kami tinggal sepertiga dari total jarak yang harus ditempuh. Mobil tengah berhenti di suatu pertigaan. Kemudian aku menoleh dan melihat sebuah truk yang berhenti di samping, ketika Nalini sadar aku telah terbangun, ia menyapaku, “Eh, Catu sudah bangun?“
Aku menengok ke Nalini untuk menjawab singkat, “Ya, barusan.” Ketika menjawab, aku sengaja sambil memegang kalung baja berbentuk dog-tag pemberian Nalini, yang tentu saja membuat si pemberi tersenyum.
Setelahnya aku melihat truk kembali, dan terdengar Nalini bertanya, “Di rumahku nanti apa mau kubuatkan masakan dulu?”
“Menurutku kita beli saja di luar untuk kita,” jawabku, sekali lagi dengan melihat sebentar Nalini lalu kembali melihat truk. Mobil pengangkut barang di samping itu memang mengingatkanku pada sesuatu: truk milik Mang Bardun, dan pembicaraanku tentang rasayana saat aku menumpangnya.
Nalini sadar, “Ada apa dengan truk itu, Catu?”