Kami bertemu, di sebuah ruang tertutup bercat putih. Meski sudah terpasang sistem air conditioner pada tempat terkunci yang saluran udaranya sudah teratur dengan baik tersebut, kipas angin gantung yang berputar menambah kesejukan secara langsung menuju orang-orang. Di bawah kipas angin, terdapat meja kayu persegi panjang yang dikelilingi sepuluh kursi. Di atas meja, terdapat beberapa piring tempat makanan, beberapa gelas yang telah tertuang minuman, gelas-gelas kosong, dan dua buah teko yang masing-masing berisi teh dan kopi. Di keempat pojok ruang balok itu, terdapat sebuah guci pot tanaman sebagai dekorasi estetika.
Belum ada duapuluhempat jam setelah laporan penyerangan tiga saentana Nalarangka, bertemu enam orang anggota Nalarangka yang saat ini semua kondisi fisiknya masih bagas-waras. Enam orang pada pertemuan hari Jumat yang baru berjalan sembilan menit ini adalah: aku, Ragunanzu, Pak Mada, Pak Barata, Pak Arya, dan Pak Presiden Nawa.
Nama terakhir merupakan tuan rumah pertemuan, Presiden Nawa memang yang menginginkan kami bertemu secara pribadi, bukan pertemuan formal dengan membawa nama institusi. Pembicaraan di ruang tamu-dalam rumah Pak Nawa ini memang tanpa protokol dan tidak bersifat resmi, hanya pertemuan antar lima teman membahas hal yang penting. Selain Pak Nawa, lima orang lainnya terkait dengan militer secara langsung: aku, Ragunanzu, Pak Mada yang masih menjabat Panglima Angkatan Bersenjata, dan Pak Barata yang kini menjabat pimpinan Komando Operasi Wilayah II. Sementara Pak Arya, yang bernama lengkap Arya Damar Jakadilah, adalah kepala laboratorium militer saat ini.
Yang kami bahas tentu saja penyerangan terhadap Pak Naryan, Pak Vursia, dan Pak Mega. Olah tempat kejadian perkara dan penggalian informasi dari para saksi telah dilakukan. Menurut keluarga dan orang-orang yang bertemu dengan Pak Naryan dan Pak Mega, memang mereka terakhir terlihat memakai pakaian yang sama dengan pakaian yang melekat di tubuh mereka pada saat ditemukan tergeletak di lokasi kejadian. Sementara Pak Vursia sendiri, berdasarkan keterangan, tidak berinteraksi dengan orang lain dalam dua hari terakhir.
Tidak diketahui pasti apa yang ketiga orang korban lakukan bersama, tapi memang tidak asing bila mereka melakukan suatu kegiatan bersama karena ketiganya memang akrab. Termasuk lari-lari bersama, mereka sudah kerap melakukan hal tersebut. Mereka tak pernah lari-lari pada jam yang larut, tapi berdasarkan pemeriksaan tubuh, diperkirakan mereka sama-sama sudah tak sadarkan diri beberapa jam sebelum mereka ditemukan. Berdasarkan pengecekan juga, kuat dugaan mereka sempat bertarung adu-pugaba.
“Masuk akal bila penyerang mereka rasayanas juga,” komentar Pak Mada, “Meskipun kita tak tahu bagaimana pertarungan mereka. Tapi melihat kemampuan Pak Naryan, Pak Mega, dan Pak Vursia, kalau mengalahkan mereka bertiga dipastikan kemampuan penyerang juga tinggi.”
“Tapi, yang menjadi tanda tanya, kalau pertarungan itu terjadi dengan dahsyat. Seluruh – seluruh kota tidak melaporkan adanya suara bising, yang biasanya terjadi kalau pugaba terbentuk, kalau pugaba diciptakan,“ ujar Pak Barata, dengan mengulang kata ‘seluruh’.
“Kita sudah meluaskan pencarian informasi. Bukan hanya seluruh kota, sampai saat ini di seluruh pulau, tidak melaporkan adanya suara khas pugaba,” sambung Pak Arya.
Tentu saja, pencarian informasi yang diinstruksikan, tetap menjaga kerahasiaan agar kejadian penyerangan ketiga korban tidak menyebar ke masyarakat –dan militer kebanyakan. Hal ini dilakukan memperhitungkan masyarakat mungkin justru panik kalau ada penyerangan misterius yang menyasar korban dengan kemampuan tingkat tinggi. Tak terkecuali keluarga para korban, mereka diberitahukan kalau korban menderita sakit fisik alami yang belum diketahui secara pasti penyebabnya. Sampai sejauh ini, sanak saudara para korban menduga anggota keluarga mereka keracunan makanan.
Harapan kerabat dari dua korban agar korban sadar sebenarnya tak tertutup. Tapi, sesuai yang diberitahukan Arya, “Kabar terakhir, mereka bertiga hingga kini masih koma. Untuk Pak Baryan dan Pak Mega, mereka mungkin masih bisa sadar, meski kemungkinan besar mereka akan hilang ingatan. Untuk Tuan Vursia......” Pak Arya berkata jujur tentang Tuan Vursia yang berusia tertua dari ketiga korban, ”.......kemungkinan nyawa beliau tak tertolong.”
Pak Barata yang memejamkan netranya berkomentar, “Ya, pertama kali saya tahu itu, saya sedih dan merasa akan tenggelam rodan nestapa yang lebih dalam bila memang Tuan Vursia harus menjemput ajalnya.” Pak Barata menghela nafas, lalu menceritakan, “Setahunan lalu, beliau sudah memberi permintaan pada saya. Tuan Vursia bilang tentang wasiat kematian. Bila telah wafat, selain tulisan makam pada umumnya, beliau juga meminta pada batu nisannya dipahat simbol Adhyasta Kala Nalarangka dan epitaf dalam bentuk tulisan-tulisan tertentu dalam suatu bahasa kuno. Bahasa yang beliau sebut sedang beliau pelajari, bahasa Arin. Epitaf wasiat tersebut kalau dibahasakan dalam bahasa kita berbunyi: ‘Dengan spiral DNA-nya Vade Vursia telah meniti spiral kehidupannya hingga titik kemunca’.”