Misteri Bait Astavacas: Petualangan Matematika & Simbol

RK Awan
Chapter #15

Ruas XV. Perusahaan Geometri, Tembok Sinabar, dan Operasi Geometer di Bangunan Pentagon

Umah Neveu Arts III 6, sudah dipastikan bahwa itu merupakan alamat sebuah gedung. Letaknya ada di suatu perbukitan di luar kota, di kawasan tempat berdiri griya-griya elit. Dari pemantauan, kawasan itu sebenarnya bukan merupakan tempat tinggal utama para pemiliknya. Kebanyakan rumah-rumah milik para orang berada di sana digunakan hanya saat mereka ingin berlibur. Karena itulah, area tempati rumah-rumah berukuran besar itu terlihat sepi, tak menampakkan denyut nadi kehidupan.

Perihal pemilik, suatu hal yang mengejutkan tentang Umah Neveu Arts Blok III No 6. Pemegang kepemilikan gedung di lokasi tersebut adalah perusahaan bernama CV Melangit Bersama Rekhagnit, persekutuan komanditer yang dimiliki oleh Tuan Vursia Vade dan Pak Mega Kripala Amandara. Berdasarkan pemeriksaan catatan pemerintah, lokasi itu baru dibeli sekitar setahunan yang lalu, dan segera setelahnya diurus izin pendirian gedung. Menurut izin yang diajukan, gedung tersebut berfungsi sebagai tempat peristirahatan pribadi. Berdasarkan pencarian informasi warga yang tinggal di sekitar gedung dan para pekerja yang terlibat dalam proyek pembangunannya, gedung tersebut selesai dibuat dalam waktu sekitar tiga bulan.

CV Melangit Bersama Rekhagnit, sejauh penelusuran, modalnya berasal dari Tuan Vursia dan Pak Mega. Anggota perusahaan, secara resmi tercatat hanya terdiri dua orang pendirinya. Kantornya disebut beralamat sama dengan alamat rumah Tuan Vursia. Selain membangun gedung di perbukitan tersebut, tidak tercatat proyek lain yang dilakukan Commanditaire Vennootschap itu. Memang, hal seperti itu menimbulkan tanda tanya –dan kecurigaan. Namun tak ditemukan aktivitas ilegal yang berhubungan dengan Umah Neveu Arts III 6 dan CV pembuatnya, sampai sejauh ini.

Kini, pada suatu siang di hari Sabtu, sehari setelah aku dan Ragunanzu memecahkan tantangan Bait Astávacas. Di barak, di sebuah kursi kayu yang sama pada saat aku dan Ragunanzu membicarakan nona Nalinindu Riasati Mata-Hari, juga ditemani minuman energi hangat produksi militer. Yang tak sama, aku dan Ragunanzu berbincang tentang Umah Neveu Arts III 6. Selain topik yang berbeda, pada waktu itu langit juga berbeda: tak tampak matahari, mendung, namun tak sampai jatuh rintik-rintik air dari awan.

Ragunanzu yang menatap langit berkata, “CV Melangit Bersama Rekhagnit. Aku yakin Can sudah pasti tahu arti kata terakhir. Rekhagnit, bukankah dalam bahasa Sansekerta berarti ‘geometri’?”

“Ya,” aku membenarkan, “Aku yakin Gun juga sudah tahu itu berasal dari kata ‘rekha’ yang berarti ‘garis’ dan ‘ganit’ yang berari ‘matematika’.”

“Ganit,” Ragunanzu menggumam. “Mungkin kalau orang awam mendengar kata itu, mereka akan menganggap kata itu berkaitan dengan kimia, bukan matematika.”

“Kimia,” kini aku yang menggumam. “Bisa jadi juga, kalau orang awam melihat pagar yang berwarna bata merah sinabar di Umah Neveu itu, mereka akan terpikir tentang kimia.”

Ragunanzu tak langsung menyaut, sebelum mengucapkan persetujuan, “Begitulah.”

Memang, dari pengamatan, termasuk pengamatan dan pengambilan gambar dari udara yang aku dan Ragunanzu lakukan menggunakan helikopter sipil, diketahui Umah Neveu Arts III 6 mempunyai pagar berwarna merah. Sewaktu melihat pagar merah itu, Ragunanzu menyatakan komentar, “Kupikir itulah yang disebut dengan ‘Tabir Merah’ yang tertulis di Cawan Bait Astávacas.” Waktu itu aku menanggapi bahwa aku mempunyai pemikiran yang sama dengan Ragunanzu.

Dari kokpit bening helikopter tipe Bell 47G, pagar merah tersebut terlihat membatasi wilayah tanah berbentuk persegi yang dimiliki CV Melangit Bersama Rekhaganit. Pagar itu kami perkirakan cukup tinggi, mencapai sekitar tiga hingga empat meter. Area tanah di dalamnya kami taksir panjang sisinya mencapai sekitar 54 m, sehingga luasnya kurang lebih 2916 m2. Di dalam tanah berpagar itu, kami bisa melihat tumbuh pepohonan tinggi dengan lebat di bagian tepi lahan. Kemudian, pada bagian tengah tanah persegi itu, tampak bangunan yang berbentuk pentagon atau segi lima. Bangunan itu kami perkirakan memiliki panjang sisi masing-masing sepanjang 12,4 m dan total luas bangunan sekitar 620 m2. Berdasarkan pengintaian dari udara, kuat dugaan bahwa gedung pentagon yang terlihat berwarna abu-abu keperakan itu tidak memiliki atap.

Pengintaian dari udara yang kami lakukan, telah mendapat izin anggota lain dari tim 6 –sebutan kami saat ini untuk enam orang yang telah berkumpul di ruang tamu dalam Pak Presiden Nawa. Segera setelah kami memecahkan kode di Cawan Kaca, kami melaporkannya kepada empat orang senior kami. Via telepon, langsung dirundingkan langkah apa yang diambil. Pengamatan dengan kendaraan berbaling-baling yang merupakan usulku itu merupakan salah satu tindakan yang telah disetujui semua anggota. Waktu itu, Pak Barata juga membuat usulan yang disetujui: membiarkan tiga orang di perpustakaan Prismastha Akademi untuk melanjutkan membaca karya-karya Tuan Vursia, siapa tahu ada informasi penting yang bisa didapat.

Tindakan kami lainnya adalah membuat ‘proyek jadi-jadian’ perbaikan saluran air dan sambungan telepon di sekitar kawasan Umah Neveu Arts III 6. Pada proyek kamuflase tersebut, kami menempatkan anggota militer reguler dan beberapa rasayanas yang menyamar menjadi para pekerja perbaikan saluran air dan sambungan telepon. Itu merupakan pilihan kami karena tentu tak akan wajar bila kami menyamar menjadi penjual makanan di daerah sepi itu, lagipula proyek perbaikan itu dapat membantu kami untuk menyamarkan anggota dalam jumlah yang banyak.

Anggota yang terlibat pada proyek itu, selain tim 6, tidak tahu secara detail tentang misi lokasi tersebut, mereka tidak tahu keterkaitan gedung itu dengan Cawan Kaca. Yang mereka tahu adalah mereka diperintahkan untuk mengawasi –dan bila perlu menyerbu– gedung yang dianggap membahayakan negara. Pasukan yang berkamuflase, diberi arahan bahwa meraka akan menempati basis pengamatan dan ‘pos sementara’ untuk membantu bila aku dan Ragunanzu masuk ke obyek yang membahayakan tersebut.

Selain aku dan Ragunanzu, tidak ada tim 6 lainnya yang terlibat secara langsung dalam operasi ini. Tentu saja hal ini untuk menghindari kecurigaan dan menjaga sentimen anggota lain yang diterjunkan. Kalau sampai orang-orang seperti presiden, panglima, kepala laboratorium militer, dan pimpinan Komando Gabungan Wilayah II secara bersamaan turun langsung, bukan tak mungkin akan menimbulkan banyak tanya bagi anggota lain. Ini bukan operasi pemberantasan monster yang telah diketahui kabarnya secara luas oleh kalangan masyarakat, sasaran yang dicapai masih tanda tanya. Sementara aku dan Ragunanzu, akan dipandang wajar bila diterjunkan menjadi ujung tombak: karena kami adalah pemraktek pugaba yang paling mahir, dan sah-sah saja bagi pandangan orang bila kami diberi tugas ini untuk kesempatan mendaki tangga karir yang masih terbuka.

Untuk misi tersebut, kami sengaja menyumbat aliran air dan membuat saluran telepon tak berfungsi normal. Diperkirakan, para penghuni perbukitan baru akan datang sekitar sore atau malam hari pada Sabtu ini untuk berakhir pekan, dan ketika itulah mereka akan mendapati ada yang salah dengan saluran air dan telepon mereka. Bila mereka melaporkan komplain, mengingat letak kawasan itu yang berada di luar kota, sewajarnya baru bisa ditangani pada saat hari esok alias hari Minggu.

Bila penghuni area perbukitan itu tahu ada gangguan air dan telepon, kemungkinan besar mereka tidak akan menghabiskan akhir pekan mereka di situ. Bila tak ada orang sipil di lokasi, tentu akan menguntungkan kami, mengingat mungkin saja terjadi kericuhan. Sesuai rencana, komplain penghuni perbukitan akan ditanggapi dengan menyatakan waktu perbaikan sampai dua-tiga hari –waktu yang wajar juga untuk perbaikan saluran air. Artinya, seandainya dalam satu hari aku dan Ragunanzu gagal, masih ada sisa hari untuk membereskan target.

Lihat selengkapnya