Sumber gambar: pixabay.com.
Setahun yang lalu…
Manik mata Rani Caraka, gadis cilik berponi yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang kesembilan, terbelalak ketika melihat kehebohan yang terjadi di ruang tamu rumah kedua, tempat ia dan Dimas, kakaknya biasa bersantai. Ruang tamu itu istimewa karena berhiaskan karpet bulu putih tebal yang sangat halus dan penyu raksasa yang diawetkan. Ada lampu gantung kristal antik yang menambah romantisme. Rani sering duduk di sofa empuk bermotifkan bunga mawar tersebut sembari memainkan koleksi boneka Barbie-nya. Sementara itu, Dimas sibuk membidik kaki Rani dengan pistol mainan kesayangannya.
“Kak Dimas jahat banget. Pelurunya sakit, tahu!” Gerutu Rani. Matanya mengerjap-ngerjap karena menahan linangan air mata. Untuk kesekian kalinya ia mengusap kakinya yang menjadi korban kejailan kakaknya.
Dimas terkekeh. “Cengeng! Ini kan hanya peluru plastik.”
“Tetap saja sakit. Gimana kalau pelurunya kena mataku? Nanti buta!”
Tak menghiraukan protes adik perempuannya, Dimas kembali membidik. Kali ini lengan kanan Rani yang menjadi sasaran. Rani yang kesal pun segera meninggalkan kakaknya. Walaupun Dimas sering menjadikannya bahan bulan-bulanan, tapi Rani memujanya. Dan siapa yang tidak? Setahun yang lalu, Dimas pernah menjuarai perlombaan Matematika nasional tingkat SLTP. Ia juga mahir bermain bola basket, bulu tangkis, dan karate. Tak seperti Rani yang penyendiri, Dimas aktif berorganisasi. Entah Pramuka, OSIS, atau pun kegiatan keagamaan. Sekarang Dimas tampak agak berbeda. Ia memang masih senang menggoda Rani. Tapi ada sesuatu yang membuat Dimas seperti menciptakan benteng tak kasat mata. Sudah beberapa kali Rani memergoki ia melamun. Jika ditegur, ia malah sengaja membenturkan gagang rantai yang sedang ia pakai untuk berolahraga, ke kepala Rani. Memang tak sampai melubangi kepala Rani, tapi tetap saja memar. Oleh karena itu, Rani memilih jalan aman. Jangan mengganggu Kak Dimas yang sedang mengalami pubertas. Bahkan, Rani pernah melihat kedua mata Kak Dimas yang menatap langit-langit, penuh air mata. Apa Kak Dimas depresi karena nilai ulangan Kimia-nya bernilaikan telinga monyet? Rani mengetahuinya karena kepalanya dibidik gumpalan kertas yang ternyata kertas ulangan Kimia. Ia mendengus meremehkan. Bisa saja Kak Dimas menggodanya cengeng. Padahal ia tak pernah menangis walaupun nilai mencongaknya nol atau bebek.
Rani menghampiri kerumunan dan berusaha mengetahui apa yang terjadi. Tapi sulit menembus pagar manusia yang serapat semak belukar tersebut. Tak hanya para asisten rumah tangga dan tukang kebun yang berkumpul, tapi juga Pak Sukma yang merupakan rekan kerja ibunya Rani.