Sumber gambar: pixabay.com.
Berbeda dengan ketakutan Rani yang tak beralasan, teman-teman kuliahnya sangat baik. Mereka berasal dari berbagai penjuru Jawa Barat. Ada yang dari Tasikmalaya, Cianjur, Garut, Cirebon, dan lain-lain. Hanya seorang mahasiswa yang berasal dari Aceh, yaitu Mahmud yang sehitam arang dan selincah kancil. Mahasiswa usil itu tak henti-hentinya menggoda Rani.
“Ran, bagaimana jika kau nanti menjadi istri keduaku?”
Rani mengerucutkan bibirnya. “Aku tak mengerti mengapa aku harus menjadi istri keduamu?”
“Kau kan akur dengan pacarku, Mara. Aku bisa membayangkan keluarga kecil bahagia yang terdiri atas diriku yang ganteng ini, Mara, dan juga kau. Hukum agama Islam juga membolehkan poligami.”
“Poligami diperbolehkan asalkan berlaku adil. Tapi siapa orang yang bisa adil di dunia ini?”
“Justru itu. Kita harus melakukan uji coba. Mana kita tahu jika tak mencobanya?” tantang Mahmud. Senyum menyebalkan berkembang di bibirnya yang agak menghitam akibat nikotin. “Ayolah. Nanti kau akan sering kutraktir mie ayam. Kau suka sekali mie ayam Mang Dadang, bukan?”
Rani hanya tersenyum sekecut lemon. Harus diapakan Mahmud yang abnormal, tapi jenaka ini. Ia pasti tipe pria playboy yang harus dijauhi dalam radius 10 km. Masa masih single juga, ia bercita-cita untuk memiliki dua istri?
“Dibanding memiliki istri yang banyak, jauh lebih untung memiliki suami yang banyak. Penghasilannya lebih banyak. Jika istri banyak, jumlah anak-anak banyak. Warisan yang diterima pun semakin kecil. Berarti tak layak secara ekonomi,” balas Rani tak mau kalah. Entah mengapa? Dengan Mahmud ini, Rani senang sekali mendebatnya. Ia banyak omong sih!
“Alamak! Aku tak menyangka Rani yang pendiam ini ternyata materialistis. Janganlah kau kaitkan perasaan dengan ekonomi,” ujar Mahmud sambal menepuk dahinya sendiri. “Mau jadi apa dunia jika seluruh perempuan matre sepertimu?”
“Bukan matre, tapi logis.”
“Ran, pria tipe idealmu yang seperti apa sih? Yang pintar dan pendiam seperti Mario?” tanya Ari dengan 7 rius, bukan serius (satu rius). Ia menarik kursi dan duduk tepat di samping Rani. Aroma parfum wood yang ringan menyebar.
Rani menoleh dan mengangkat bahunya. Ia memutar bola matanya. “Entahlah. Aku tak pernah memikirkannya.”
Ari menjawil pipi Rani dengan gemas. “Jangan suka jinak-jinak merpati ah! Mana mungkin cewek nggak pernah memikirkan cinta? Suka ya dengan Mario? Ia kan sangat pintar.”
“Mario lebih muda setahun. Jadi seperti adik,” jawab Rani diplomatis.