Sumber gambar: pixabay.com.
PRANG!
“Sial. Pecah sudah! Jatah mie ayamku berkurang. Mana akhir bulan,” sungut Ramli yang gagal menangkap labu Erlenmeyer yang licin. Alat praktikum tersebut meluncur ke lantai dan jatuh berderai dengan bunyi yang menyakitkan hati Ramli yang dompetnya super cekak. Jiwa ekonomi Ramli meronta-ronta. Oh…kejamnya dunia! Mengapa alat praktikum Arin yang kaya raya tak jatuh sama sekali? Oh…oh…apakah kemalangan selalu menimpa mahasiswa melarat?
“Hahaha. Ngelamun terus sih!” ujar Mahmud dengan ekspresi kejam. Gigi putihnya tampak mencolok di latar kulit wajahnya yang gelap. “Mikirin Sinta yang bahenol? Udah…nggak usah banyak mikir. Tancap gas! Tembak saja dia. Kulihat dia juga menaruh hati padamu.”
“Hush! Memangnya aku sepertimu yang playboy? Mau dikemanakan Ully, pacarku itu? Begini-begini aku ini pria setia, calon suami idaman. Ini bukan masalah cinta.”
“Jangan suka bohong! Aku sering memergokimu melirik Sinta.”
“Siapa yang bohong? Wajar kan mata memang diciptakan untuk melirik, bukan mendengar. Kau kali yang tukang bohong?”
Mahmud mendecakkan lidah. “Kok jadi sewot. Bapak Ramli sedang PMS?”
Ramli langsung menyentil dahi sahabatnya yang selebar lapangan sepak bola itu. Sobatnya yang satu ini memang sangat menggemaskan…untuk dijitak.
“Sudah 3 bulan aku belum pulang ke Cianjur. Aku kangen rumah. Umi sudah meneleponku terus menanyakan kapan aku pulang. Minggu lalu aku gagal pulang gara-gara laporan praktikum tekanan hidraulik. Kau tahu sendiri dosen killer kita …Pak Amir mana mau tahu laporan yang nggak selesai…Padahal Umi sudah memasakkan empal dan sambal terasi favoritku,” desah Ramli. Ia menyapu pecahan labu Erlenmeyer dengan lesu.
“Cengeng! Dasar anak mami! Aku saja sudah setahun belum pulang kampung. Biasa saja. Ibuku rutin mengirimkan rendang dan abon ikan.”