Sumber gambar: pixabay.com.
Rani mendesah. Tulang ikan nila yang bersarang seminggu di kerongkongannya sungguh menyiksa. Sudah puluhan kali, tulang ikan bandel itu menusuk-nusuk kerongkongannya. Sudah puluhan kali pula, Rani menelan gumpalan nasi agar tulang ikan itu tertelan. Tapi, usahanya sia-sia. Rupanya, ikan nila itu tak rela mati disantap. Senja ini Rani pun sudah tak sabar ingin pulang ke kostannya.
”Hai, nona manis. Sudah seminggu kau cemberut terus? Nanti cepat keriput,” goda Akbar. Jemarinya menjawil pipi kanan Rani. Ia tak kuasa menahannya. Pipi apel gadis itu tampak menggemaskan.
Rani yang manyun tampak sangat imut di mata Akbar. Bagi orang yang sedang jatuh cinta, apa pun dalam diri sang pujaan hati tampaklah indah. Mau pakai baju karung dan kacamata kuda pun, si gadis akan tampak sejelita Dewi Venus.
Rani mesem menanggapi candaan Akbar yang basi itu. Ia tetap melanjutkan langkahnya. “Tertusuk tulang ikan.” Dengan susah payah, ia mengucapkan kalimat itu. Setiap ia mengeluarkan sepatah kata, tulang ikan menusuk kerongkongannya dengan penuh dendam kesumat.
“Apa?” Tanya Akbar yang sulit mendengar gumaman Rani.
“Tuuulaaang ikaaan.”
“Apa?” Ulang Akbar. Ia buta. Tak melihat Rani yang bersusah payah mengucapkan kalimat singkat itu. Ia tuli. Tak mendengar sedikit pun ucapan Rani. Ya, Akbar buta dan tuli karena cinta.
Rani menunjuk kerongkongannya. Ia sungguh tak ingin membuka mulutnya. Sementara Akbar terus saja mendesak.
Akbar hanya menatap telunjuk Rani dengan pandangan terpana. “Kau sakit? Mau kuantar ke dokter?”
Rani menggeleng cepat untuk mengakhiri pembicaraan. Mana mungkin ke dokter hanya untuk mengeluarkan tulang ikan. Bisa-bisa dokter yang memeriksanya, mati tertawa berdiri. Maka, ia pun memberi isyarat untuk menghentikan pembicaraan dengan lambaian tangan kanannya.
“Kau sariawan? Haid?” Tanya Akbar. Untuk kali ini Rani membenci sifat Akbar yang terlampau penuh perhatian.
Rani melambaikan tangan kanannya lebih cepat. Ia ingin segera pulang. Tapi Akbar tak mau melepaskan dirinya juga. Hari ini Akbar cerewet sekali. Tak seperti biasanya. Rani tak mengerti bahwa Akbar hanya merasa takut. Ya, Akbar takut kehilangan dirinya.
Akbar yang kepala batu, mana peduli dengan penolakan sang gadis. Ia membuntutinya. “Bad mood padaku?”
Rani menggelengkan kepala tanpa menghentikan langkahnya. Akbar pun menarik tangan kanan gadis itu.