Misteri Caraka

Sisca Wiryawan
Chapter #22

Bab 22 Sang Dosen Killer


Sumber gambar: pixabay.com.


Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Rani menjalani hari-harinya yang padat di kampus seperti robot Artificial Intelligence (AI). Otaknya serasa berhenti. Tapi fisiknya bekerja begitu saja. Membaca buku-buku Teknik Kimia di perpustakaan. Mencari literatur di internet. Mengetik. Membuat revisi. Meminta bantuan pada senior kampus. Menangis di bantal. Begitulah kehidupan kampus seorang Rani Caraka.

“Ran, sejak kau menjadi mahasiswi bimbingan Pak Doni, ia tampak berubah,” ujar Kang Rahmat, senior Rani. Ia hampir lulus. Tinggal mengulang dua mata kuliah lagi yang nilainya masih kurang sebagai syarat mengikuti ujian komprehensif.

“Berubah bagaimana?” Timpal Rani dengan lesu. Ia sedang tak bersemangat untuk berbincang dengan siapa pun.

“Wajah Pak Doni sumringah. Cerah. Glowing seperti bunga matahari,” ucap Kang Rahmat sembari terkekeh.

Rani mencibir. “Menurutku, Pak Doni tetap tegas dan dingin seperti biasa. Kang Rahmat bisa saja bergosip.”

“Eh, kau tak percaya. Bukan hanya aku yang menilai begitu. Tanya saja senior-senior yang lain.”

Dengan mimik sesendu kucing lapar yang mendambakan ayam goreng turun dari ozon, Rani berkata, “Menurut pepatah, manusia merasa lebih bahagia jika ada orang lain yang nasibnya lebih menderita. Oleh karena itu, Pak Doni bahagia karena aku menderita. Lihat saja berat tubuhku yang turun 10 kg karena merana akibat revisian yang tiada henti. Otakku sulit mengejar otak Pak Doni yang jenius.”

Kang Rahmat tertawa keras. “Bisa saja kamu. Pantas penampilanmu terasa agak aneh. Padahal karena memakai celana denim kelonggaran, ya? Melorot enggak nih?”

“Ya, enggak. Aku pakai ikat pinggang yang kencang!”

“Aduh, kasihan! Anak orang sampai kurus kering begini.”

“Terus saja tertawa. Kang Rahmat tak prihatin padaku,” sungut Rani.

***

“Rani, Bapak ingin bicara dulu sebentar denganmu,” ujar Pak Doni dengan mimik wajah serius seperti biasanya. Jika berhadapan dengan Pak Doni, Rani merasa dirinya seorang prajurit yang sedang melapor pada sang jenderal.

Rani pun mengkeret ketakutan. “Pak, maaf saya belum siap untuk bimbingan. Revisinya sudah saya dan partner kerjakan. Tapi kami belum belajar untuk bimbingan.”

Seulas senyum tipis tersungging di bibir Pak Doni yang dihiasi kumis tipis. “Saya ingin minta maaf.”

Lihat selengkapnya