Misteri Caraka

Sisca Wiryawan
Chapter #24

Bab 24 Patah Hati


Sumber gambar: pixabay.com.


Rani membaca pesan masuk di handphonenya. Bulir-bulir kristal perak berjatuhan. Satu demi satu menuruni pipinya.

 

Sandy: Maaf, Ran. Aku langsung pulang ke rumahku. Terima kasih banyak sudah mengizinkanku menginap di rumahmu. Salam untuk Mama-mu.

 

Rani sungguh tak mengerti. Apa yang salah? Apakah ada kata-katanya yang menyinggung perasaan Sandy? Sementara itu, Sandy sudah meneguhkan hatinya. Tak boleh lagi ada sedikit pun benih cinta yang tumbuh untuk Rani. Mereka berdua sama sekali tak cocok. Ini yang terbaik.

 

Sebenarnya, Rani mengetahui jurang perbedaan antara dirinya dan Sandy begitu lebar. Ia yang berpikiran liberal. Sementara Sandy konvensional. Ia yang mengagumi filsafat dan logisme. Sementara Sandy sangatlah religius. Perbedaan mendasar inilah yang membuat teman-teman kuliah mereka berdua tak mendukung hubungan keduanya secara terang-terangan. Tentu saja mereka tak berani mengutarakan opini mereka secara langsung pada Sandy. Tapi mereka mempengaruhi Rani yang lebih terbuka.

 

Rani tipe gadis melankolis. Tak mudah memperoleh hatinya. Tapi sekali ia jatuh cinta, ia bertekuk lutut. Ketika kecewa akan cinta, diperlukan bertahun-tahun untuk melupakan trauma cintanya. Dan teman-teman terdekatnya mengerti karakteristiknya tersebut.

 

Sandy sang pemuda idaman. Ia supel dan mudah bergaul. Tapi ia tak akan pernah bisa lepas dari adat istiadatnya. Gadis tipe idealnya ialah gadis manis yang sholehah.

 

 

Teman-teman Sandy ialah teman-teman Rani juga. Mereka tak ingin hubungan persahabatan yang indah hancur begitu saja karena cinta dari dua dunia yang berbeda. Semuanya berpendapat inilah yang terbaik untuk Sandy dan Rani. Tapi, benarkah demikian?

 

Rani tak tahan lagi akan siksaan cinta ini. Ia bisa gila jika tak mengetahui kebenarannya. Apakah Sandy mencintainya? Ataukah, binar-binar cinta di pupil kelam Sandy itu hanya bayangan semata? Maka, Rani pun menyusut air matanya. Akhir-akhir ini ia begitu cengeng. Tak seperti dirinya yang biasa. Ia yang biasa menyembunyikan segala emosi dalam cangkang tak kasat mata, sekarang kelimpungan menahan segala luapan rasa. Tak ingin ia merasakan cinta yang seperti ini. Cinta, sesal, cinta, ragu, cinta, cemburu …

 

Sekali lagi Rani menatap bayangan wajahnya di cermin hias besar ruang tidurnya. Wajahnya sendiri terasa asing. Matanya cekung. Kulit wajahnya pucat. Ia pun tersenyum dan berusaha mengumpulkan segala keberaniannya. Matanya tampak berbinar-binar penuh semangat.

 

Lebih baik sekarang daripada menyesal kemudian hari. Tak apalah ditertawakan karena bersikap agresif dibanding hanya bermurung durja setiap hari. Rani tahu dirinya tak cantik luar biasa, tapi ia cukup menarik.

 

Dengan optimisme tinggi, Rani pun menelepon Sandy. Inilah kali pertama Rani memberanikan diri untuk meraih cinta. Biasanya, ia tak perlu memperjuangkan apa pun. Tak ada rasa cinta yang kuat. Hanya suka sekilas dan menerima pernyataan cinta dari si pria. Hambar. Sekarang ia baru mengerti bahwa ia telah bertindak keji pada pria-pria yang menaruh hati padanya. Karma sedang menerpa dirinya. Apa boleh buat.

 

“Hallo, Sandy?” Sapa Rani.

“Hallo, ini siapa?”

“Ini Rani. Masa kau tak ingat suaraku?” Tanya Rani dengan segumpal rasa kecewa di hati. Ah, begitu mudah Sandy melupakan dirinya. Seketika keberaniannya untuk menyatakan perasaan cinta pun menciut bagaikan balon gas ditusuk jarum.

Suara tawa Sandy terdengar begitu lepas. Mungkinkah masih ada asa untuk Rani?

“Hai, Rani. Ada apa, ya? Kok tumben kau meneleponku?”

“Hmm…” Tiba-tiba Rani merasa suaranya tercekik.

Lihat selengkapnya