Sumber gambar: pixabay.com.
Seperti burung gagak yang senang barang berkilau, perhatian Rani yang sedang berjalan kaki, teralihkan oleh uang logam seribu Rupiah yang tergeletak menggoda di trotoar. Ia pun menoleh ke kiri dan kanan. Lumayan untuk beli bumbu masak sachet.
Sembari bersiul irama lagu Nervous-Shawn Mendes, Rani pun mengantongi uang logam tersebut. Mubazir jika tak diambil! Ia tak mengira ini adalah awal dari petaka…
***
Malam dingin seperti ini paling enak menyantap mie instant telur. Tapi, rasanya mager (malas gerak). Tapi Bu Caraka tak memberikan Rani kesempatan untuk menjadi kukang yang selambat mantan.
“Anak gadis jangan gulang-guling terus di tempat tidur. Memangnya kau ini telur gulung? Mama lapar. Ayo cepat kau buatkan mie instant telur!”
Diiringi pandangan tak sabar Bu Caraka, Rani pun bangkit dari sarangnya yang nyaman. Dengan langkah gontai, ia melangkah menuju dapur.
Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan hidangan mie tersebut. Seperti robot AI, Rani membuat mie tersebut dengan terampil. Setelah air mendidih segera ia masukkan mie instant. Tak lupa ia pecahkan telur ke dalam air menggelegak tersebut. Telur mata sapi yang sedang direbus tersebut tampak sempurna. Kuningnya sebulat matahari. Bu Caraka tak suka jika kuning telurnya pecah terurai. Ia akan mengeluh telurnya tak estetik atau pun kurang enak saat digigit.
Tingkat kematangan juga menentukan rasa masakan. Mie instant harus dimasak matang. Jangan keras, tapi jangan pula terlampau lembek. Bu Caraka tak suka telur setengah matang. Walaupun demikian, ia juga tak suka telur yang terlalu matang karena cenderung kering ketika digigit. Cukup rumit, bukan?
Rani dan ibunya biasa berbagi makanan. Satu mie instant dan satu telur cukup untuk berdua. Saat ia membelah telur mata sapi rebus itu, ia terkejut. Ke mana kuning telurnya? Hanya putih telur.
Rani pun memeriksa kembali air bekas memasak mie di wajan. Mungkin saja kuning telur tersebut melarikan diri dari putih telur. Nihil.
Apakah kuning telur itu jatuh di sisi kompor gas? Atau, jatuh ke atas lantai? Tak ada juga.
“Ma, kuning telurnya raib,” lapor Rani dengan panik.
“Apa ada tikus yang mengambilnya?”
“Tak mungkin. Kuning telurnya hilang saat dimasak. Tikus tak akan berani mencuri telur yang sedang dimasak di atas api. Lagipula aku tak melihat adanya tikus.”
“Mungkin telurnya memang cacat. Hanya ada putih telur.”
Rani menggelengkan kepala. “Aku ingat benar. Saat memecahkan telur, ada kuningnya.”
“Berarti ada genderuwo…”
“Genderuwo iseng sekali mencuri bagian terenak dari telur ayam. Masa kita makan putih telurnya saja? Hambar!” Sungut Rani.
Bu Caraka tertawa. “Ingat tidak saat telur hilang 2 butir saat direbus?”
“Iya, walaupun tak ada orang selain aku di dapur, telur itu hilang begitu saja di wajan,” ujar Rani. Ia pun merinding ketika mengingat kejadian ganjil itu. “Tengah malamnya aku melihat genderuwo bermata hitam legam mengintipku di atas pagar rumah.”