Sumber gambar: pixabay.com.
“Ran, bagaimana kabar Ella?” Tanya Bu Caraka sembari membukakan pintu pagar besi yang berderit-derit.
“Ella sehat. Ia titip salam pada Mama,” ujar Rani yang kedua tangannya penuh dengan barang bawaan. Di punggungnya bertengger ransel merah kesayangannya.
“Banyak sekali barangmu? Kau membeli apa saja? Nanti ayahmu marah melihat kau menghamburkan banyak uang hanya untuk membeli oleh-oleh,” ujar Bu Caraka. Wajahnya yang cemas malah membuat Rani menyeringai.
“Jangan khawatir, Ma! Ella dan Mama-nya yang membawakan ini semua. Papa pasti suka. Ada dodol Garut, manisan cherry liar, dan keripik tempe.”
“Baik sekali mereka.”
Rani mengangguk. Ia pun segera masuk ke dalam rumah. Lelahnya! Baru saja ia meletakkan barang bawaannya, terdengar bunyi gedubrak. Ia pun segera lari keluar rumah.
“Aduh!” Rintih Bu Caraka. Ia terpeleset genangan air di depan teras rumah.
“Mama, kubantu berdiri, ya?” Tanya Rani penuh kekhawatiran. Ia mengulurkan kedua tangannya.
Bu Caraka bergeming. Dadanya turun naik. Ia tampak sangat kesakitan. Dengan susah payah, ia berbisik, “Sebentar. Mama enggak sanggup bergerak. Tolong ambilkan saja segelas air putih!”
Rani pun segera melakukan permintaan ibunya. Ia membantu Bu Caraka mereguk air minum tersebut. “Apa yang sakit, Ma?”
Bu Caraka meringis. “Sekujur tubuh, terutama bokong.”
“Aduh, Mama. Kalau jalan, jangan cepat-cepat! Mama tuh bukan anak muda, tapi jalannya secepat Ferrari. Gimana kalau jatuhnya kena tulang belakang?”
“Bukan karena Mama. Tapi, memang jalannya licin.”
“Enggak hujan, tapi kok depan teras basah begini?”
Bu Caraka mencibir. “Perbuatan ayahmu. Seperti kau tak tahu saja.”
“Cuci tangan dan cuci kaki di sini?”
“Ya.”
“Biasanya, Papa main air di tepi teras. Aneh sekali. Apa ia sengaja menuangkan air di jalan yang biasa dilalui orang?”
“Tak hanya air, ia juga sering membuang kantung plastik tepat di depan kamar mandi,” gerutu Bu Caraka. “Dasar psikopat! Ia terus-menerus ingin membunuh Mama secara natural.”
Rani termenung. Apakah Pak Caraka sudah kehilangan kewarasannya? “Sekarang sudah bisa berdiri?”
Bu Caraka mengangguk. Dengan perlahan, ia berdiri dengan bantuan Rani. Ia terkesiap, “Ranran, menstruasi-mu belum berhenti juga? Darah sampai tembus ke celana panjangmu. Sudah menstruasi hari keberapa?”
“Sepuluh hari.”