Misteri Caraka

Sisca Wiryawan
Chapter #33

Bab 33 Martabak


Sumber gambar: pixabay.com.


Sudah sebulan, keluarga Caraka menempati rumah tua tersebut. Berbeda dengan pemandangan indah di sekitar rumah misterius tersebut, situasi dalam rumah tersebut mencekam. Hening, tapi seolah-olah badai kengerian sanggup datang kapan pun.


Semakin lama tubuh Pak Caraka semakin kurus kering bagaikan tanaman kacang panjang yang ditanam Rani di dekat pagar rumah. Ia sekarat. Hanya tinggal menunggu masa. Masa penantian itu sungguh lama dan menyiksa tak hanya bagi diri Pak Caraka, tapi juga Bu Caraka dan Rani. Mereka merasa ngeri melihat kabut kematian yang membayangi diri Pak Caraka.


“UHUK! UHUUUK! SIALAN. AKU TAKUT MATI. AKU TAK INGIN MATI. MENGAPA HARUS AKU YANG MATI? BUKAN ISTRIKU ATAU RANI, ANAK SIALAN ITU? DI MANA KEADILAN?” Teriak Pak Caraka sembari menampar-nampar pintu. Bahkan, ia menjeduk-jedukkan kepalanya yang botak ke dinding ruang tidurnya. Jika Pak Caraka sudah bertingkah abnormal seperti itu, Bu Caraka langsung mengunci pintu ruang tidur. Ia tak membolehkan Rani keluar ruang tidur selangkah pun. Siapa yang bisa menjamin Adi Caraka tak menyerang mereka berdua? Tempat ini sungguh terpencil. Hanya beberapa keluarga yang menghuni area sekitar rumah tua tersebut.


“Ma, kenapa kita tak lari saja sih? Kita bisa ngekost berdua,” bujuk Rani.


Bu Caraka menggelengkan kepala dengan tegas. “Dan membiarkan ayahmu menguasai harta ini sendirian? Tak sudi. Mama yang bekerja keras untuk mengumpulkan harta, bukan ayahmu.”


Rani mengeluh. Bu Caraka tak tergoyahkan. Padahal nyawa dan keselamatan jauh lebih penting daripada harta. Lagipula harta berharga apa sih yang dipertahankan? Hanya rumah tua dan sebuah sedan mewah! Memang sih hanya tinggal ini peninggalan harta kedua orangtuanya sejak Pak Caraka pensiun dari perusahaan susu bubuk dan Bu Caraka mengalami kerugian usaha real estate.


“Usia ayahmu tak lama lagi. Kita hanya harus bersabar.”


Rani ingin berteriak. Ia frustrasi dengan kekeraskepalaan ibunya. Kadang-kadang Bu Caraka tak logis. Bagaimana mungkin ia memaksa Rani untuk bertahan tinggal serumah dengan Pak Caraka yang bertingkah abnormal? Entah Pak Caraka memang gila atau kerasukan? Atau, Pak Caraka memang mengalami kedua hal tersebut.

 

***

SREEET! SREEET!

         

Rani menatap nanar pintu ruang tidur. Bunyi apa itu? “Ma, dengar enggak bunyi cakaran di pintu?”


Karena tak terdengar jawaban, Rani pun menoleh. Bu Caraka sedang terlelap karena pengaruh obat alergi yang diminumnya. Wajahya begitu tenang dan damai sehingga Rani tak tega membangunkannya. Dengan langkah berjingkat, Rani menghampiri pintu ruang tidur. Ia pun membungkukkan tubuhnya dan berusaha mengintip dari lubang kunci. Apa sih yang mencakar-cakar pintunya?


Rani tersentak. Satu mata penuh dendam kesumat menatapnya dari lubang kunci. Ternyata Pak Caraka! Pria renta itu kembali mencakar-cakar pintu.


Dengan panik, Rani membuka buku yang berisi no handphone teman-teman lamanya. Setelah menguatkan hati, ia pun menekan satu no handphone.


“Hallo,” gumam Rani ragu. Sebenarnya, ia merasa jengah menelepon Sandy, teman kuliah yang pernah ditaksirnya. Apalagi Sandy sudah menikah. Tapi, Rani tak tahu lagi harus minta bantuan siapa? Hanya Sandy yang mengenal keluarganya secara langsung.


Keluarga Caraka baru pindah ke area ini. Tak mungkin merepotkan tetangga yang tak dikenal secara akrab.


Jantung Rani berdebar lebih cepat ketika mendengar suara lembut yang sering diimpikannya diam-diam. “Hallo, ini siapa, ya?”


“San, ini Rani.”


“Hey, Ran. Ke mana saja kamu sejak lulus kuliah? Enggak pernah ikut reunian. Kau menghilang begitu saja seperti ditelan Komodo.”


“Iiih, Sandy. Sedang gawat darurat begini, kau malah mengajak bercanda,” sungut Rani. Susah memang bicara dengan Sandy yang senang menggodanya.


Derai tawa Sandy membuat perasaan Rani kacau. Sangat kacau. Apakah suatu kesalahan menelepon Sandy? Hati Rani masih sakit mengingat ia tak akan pernah bisa menjangkau sang pujaan.


“Ada apa, Rani Sayang?”


“Sayang...Sayang...Nanti aku ditampol istrimu.”


Tawa Sandy sekarang terdengar sendu. “Istriku meninggal dunia tahun lalu.”


“Innalillahi wa inailaihi rojiun. Turut berduka cita. Sakit apa, San?”

Lihat selengkapnya