Sumber gambar: pixabay.com.
Rani menjerit senang. Ia tak menyangka Sandy yang mengetuk pintu pagar rumah. “Kau enggak tersesat? Tempatnya terpencil begini.”
Sandy menyeringai. “Kau kan share location via GPS. Mudah saja ke sini.”
“Maaf ya kau repot-repot ke sini.”
Sembari memamerkan senyum hangatnya, Sandy memeluk Rani. “Apa sih yang enggak untukmu?”
Rani membalas rangkulan tersebut dengan wajah semerah mawar liar. Ia tampak begitu cantik dan rapuh hingga menusuk hati Sandy.
“Sandy agresif. Mentang-mentang sudah jadi duren aka duda keren.”
Tawa Sandy yang berderai, menyingkap kabut kesedihan di hati Rani. Ia menjawil hidung mungil Rani dan berbisik, “Enggak apa-apa dong. Kamu kan sudah jadi pacarku. Ini untuk menebus masa indah yang hilang di antara kita. Kamu keberatan tidak dengan statusku yang pernah menikah?”
Rani menggelengkan kepala. Ia lebih mementingkan masa depan. “Yuk, masuk ke dalam rumah. Kau pasti lelah dan lapar setelah perjalanan. Kau ingin kopi susu, cokelat, atau teh manis panas?”
“Ingin Rani manis saja.”
“Gombal,” ujar Rani. Bibirnya mencibir manja. “Kau mau minum apa?”
“Kopi susu panas saja. Papa-mu ada di mana?” Tanya Sandy sembari celingukan.
“Ia sedang tidur.”
“Mama-mu?”
“Mama sedang mandi. Nanti kupanggilkan dia.”
“Ran? Kemarilah,” perintah Sandy. Ia menggenggam jemari Rani dengan begitu erat. Tatapannya begitu intens hingga Rani tersipu malu.
Rani terperangah ketika Sandy menyematkan sebentuk cincin begitu saja. Cincin itu begitu pas bertengger di jari manisnya.
“Malah bengong kayak sapi ompong.”
“Sandy jelek. Berani-beraninya kau merusak suasana romantis,” gerutu Rani. Ia pun mencubiti lengan Sandy.
Sandy tertawa kecil. “Kau ingin suasana romantis?” Ia menarik Rani dan mencium bibirnya sepenuh hati.
“Apa ini tidak terlampau cepat? Kita kan baru bertemu lagi.”
“Rani, aku tidak ingin kehilanganmu. Cukup sudah tahun-tahun penyesalan karena aku tidak berani mengakui perasaan cintaku padamu.”