Sumber gambar: pixabay.com.
“Ma, maaf jika perkataanku menyinggung. Apakah ada riwayat kegilaan dalam keluarga Pak Caraka?” Tanya Sandy. Kedua matanya menatap lurus Bu Caraka.
Bu Caraka termenung sejenak. Dengan wajah memerah, ia berbisik, “Sandy tak perlu khawatir. Ranran bukan anak kandung Pak Caraka, tapi Pak Sukma. Mama memang salah. Mama affair dengan Pak Sukma karena tak tahan dengan kelakuan Pak Caraka yang suka main perempuan. Selain itu, Mama memiliki alasan kuat yang tak sanggup Mama utarakan.”
“Pak Caraka tahu Rani bukan anak kandungnya?”
Bu Caraka menganggukkan kepala. “Ia mengetahuinya karena ia pernah memeriksakan dirinya ke dokter. Ia mandul.”
“Mama belum menjawab pertanyaanku. Apakah ada riwayat kegilaan dalam keluarga Pak Caraka?”
“Ada. Jika tidak salah, ayah Pak Caraka juga gila. Ia sering memukuli istri dan Pak Caraka.”
“Apakah Pak Caraka ingin membunuh Rani juga karena ia gila? Mama sudah konsultasi dengan dokter jiwa sebelumnya?”
Bu Caraka menggelengkan kepala. “Awalnya, Mama tak ingin memperpanjang masalah ini. Lagipula usia Pak Caraka tak akan lama lagi. Ia menderita kanker prostat. Tapi, semakin lama Pak Caraka sulit dikendalikan.”
“Apa karena sakit, ia bertingkah ganjil? Aku pernah mendengar orang yang mengalami tumor di otak, kepribadiannya bisa berubah menjadi jahat,” usul Sandy.
“Mungkin saja. Tapi...” Bu Caraka terkesiap. Ia segera menutup mulutnya.
“Tapi apa, Ma? Coba ceritakan pelan-pelan,” bujuk Sandy.
“Mama nge...ngeri mem...mem...bicarakannya,” ujar Bu Caraka dengan suara tersendat. Kedua matanya tampak liar.
Sandy menghela napas. Ia menatap Bu Caraka dengan lembut. “Ma, jangan khawatir! Sekelam apa pun rahasia yang Mama pegang, hal tersebut tak akan mengubah perasaanku pada Rani. Kalian berdua tak layak hidup dicekam ketakutan seperti ini.”
“Mama tak pernah berani mengisahkan rahasia ini pada siapa pun, termasuk Ranran,” ujar Bu Caraka sembari menundukkan kepala.
Rani dan Sandy saling melirik. Mereka sangat tegang menunggu curahan hati Bu Caraka. Rahasia kelam apa yang akan terungkap?
Tiba-tiba Bu Caraka mendongakkan wajahnya yang sepucat kertas. Matanya tampak begitu dingin hingga tampak tak manusiawi. Suaranya berubah menjadi suara pria yang berat dan lantang. “PESUGIHAN GUNUNG KAWI. ANAK MUDA, KAU BERANI MENENTANG PESUGIHAN GUNUNG KAWI?”