Sumber gambar: pixabay.com.
BRAAAK! GEDUBRAAAK!
Rani mengaduh. Punggungnya terhantam pintu ruang mandi yang tiba-tiba terlepas dari engselnya. Ia pun muntah. Cairan kehijau-hijauan yang keluar dari mulutnya, terasa sangat pahit.
Saat keluar dari ruang mandi, Bu Caraka pun menegurnya, “Ran, kau sakit? wajahmu pucat sekali?”
“Tak apa-apa, Ma. Aku hanya agak mual. Nanti juga jika tidur, sembuh sendiri,” ujar Rani. Ia pun segera terlelap. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan. Walaupun demikian, Rani merasa bahagia Sandy ada untuk dirinya. Hanya untuk dirinya.
***
“RANI...RANI....HUAHAHAHAHAHAHA....”
Rani ternganga. Sesosok kakek botak menari-nari dengan riangnya. Pinggulnya bergoyang-goyang mengejek. Ia hanya memakai selembar kain kumal untuk menutupi auratnya. Kulit makhluk tersebut kebiru-biruan.
Tiba-tiba Rani merasa gamang. Dirinya terdorong sekuat tenaga membentur pintu ruang mandi. Dimensi pintu itu berubah cair dan menekan kepala Rani dari segala arah. Ia ingin menjerit sekuat tenaga. Tapi, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Derai tawa sang kakek terdengar membahana. Semakin lama semakin keras hingga telinga Rani mendenging sakit.
“INGATLAH, RANI. AKU SI RAJA TUYUL. MASA KAU TAK MENGINGATKU? KITA PERNAH BERSAMA DI RUMAH LAMAMU. HUAHAHAHA. PERGILAH DARI SINI. PERGI YANG JAUH SECEPATNYA. ATAU, KAU AKAN MENYESAL. HUAHAHAHA.”
Tepat tengah malam Rani terbangun dengan tubuh bersimbah keringat dingin. Sungguh mimpi yang janggal. Ia merasa ingin muntah lagi.
***
Keesokan pagi.
Ran, maaf. Aku tak sempat pamit. Tolong sampaikan juga permohonan maafku pada Mama-mu. Aku memperoleh berita duka tadi Subuh. Ayahku meninggal dunia karena serangan jantung. Sebagai anak sulung, aku harus mengurus pemakamannya. Begitu urusan ayahku selesai, aku akan datang kembali. Tunggulah aku!
PS: Maaf, aku tak mengajakmu. Kasihan Bu Caraka jika sendirian.
Setelah membaca pesan WhatsApp tersebut, Rani memejamkan mata. Perasaannya tak enak. Mungkinkah meninggalnya ayah Sandy ada kaitan dengan kejadian kemarin. Terngiang kembali ancaman makhluk halus yang merasuki Bu Caraka. Anak muda, kau tak akan menyesal?
“Sandy nggak mampir ke sini?” Tanya Bu Caraka tanpa menoleh pada Rani.
Rani menggelengkan kepala. “Tadi pagi ia pulang. Ayahnya meninggal dunia.”
“Innalillahi wa’ inailaihi rojiun. Katakan pada Sandy, Mama turut berduka cita.”
“Iya, Ma,” ujar Rani. Ia mengaduk-aduk minuman cokelat panasnya dengan perasaan gundah. Tanpa sengaja, ia melayangkan pandangan ke jendela ruang tamu yang terbuka lebar. Alangkah terkejutnya Rani, ada seraut wajah di ambang jendela tersebut. Papa? Bukankah Papa berada di rumah sakit jiwa?
Bu Caraka mengernyitkan kening. “Ranran, ada apa? Wajahmu pucat pasi seperti melihat hantu di siang bolong?”
“A...aku melihat Pa...pa...”
“Tak mungkin. Baru saja pihak rumah sakit jiwa mengirimkan pesan WhatsApp ke Mama. Mereka bilang kesehatan Papa-mu merosot drastis. Jadi, Mama diminta datang ke sana sesegera mungkin. Kau mau menemani Mama?”
Rani mengangguk. Walaupun ia ngeri dengan Pak Caraka, tak etis ia tak mendampingi Pak Caraka di saat terakhir hidupnya.
Saat Rani membuka pintu rumah, ia berhadapan dengan sosok punggung renta yang sangat ia kenali. Mana mungkin? Tapi, kekehan tawa itu? Getaran di punggung yang agak membungkuk itu? Rani membalikkan tubuh dan berlari. Belum sempat ia mencapai ruang tidur, dua tangan mencengkeramnya hingga ia pun menoleh. “Ma?” Tapi, Bu Caraka hanya menatap dirinya dengan mata merah yang nyalang. Pada detik itu juga Rani mengetahui Bu Caraka bukanlah Bu Caraka yang sebenarnya. Mana mungkin Bu Caraka tega menelikung dirinya seperti ini? Permainan iblis!
Pak Caraka menjatuhkan diri dari posisi berdiri. Ia merangkak dengan sangat cepat untuk menghampiri Rani yang tak berkutik. Seringainya memamerkan deretan gigi taring yang membuat ngilu siapa pun yang menatapnya.
Kedua tangan renta Pak Caraka merangkum wajah Rani yang gemetar ketakutan setengah mati. Elusan tangan Pak Caraka mematikan segala hal dalam diri Rani. Sel-sel sarafnya. Otaknya. Keinginannya untuk hidup. Harapannya.