Keheningan menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada tirai yang kini bergeser, seolah-olah disentuh oleh tangan tak terlihat. Karin, yang berdiri paling dekat, merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh bingkai yang tersembunyi di balik tirai itu, tapi Fajar buru-buru menahan lengannya.
“Jangan!” seru Fajar dengan nada panik.
Karin menatapnya heran. “Kenapa? Ini hanya lukisan, kan?”
Fajar menggeleng keras. “Lukisan itu... Kakekku bilang, itu adalah bagian dari kutukan keluarga ini. Tak ada yang boleh menyentuhnya, apalagi membukanya.”
“Kutukan? Kamu serius?” tanya Bayu dengan nada setengah mengejek.
Fajar tidak menjawab. Wajahnya tampak tegang, penuh dengan kekhawatiran. Siska, yang sejak awal terlihat tidak nyaman, melangkah mundur, menjauh dari tirai itu.
“Kita tidak seharusnya berada di sini,” bisik Siska.
Tapi rasa penasaran yang menggantung di udara terlalu kuat untuk diabaikan. Bayu, yang selalu suka menantang batas, mendekati tirai itu dengan senyum nakal. “Ayolah, ini pasti cuma cerita lama untuk menakut-nakuti anak kecil. Aku akan membuktikan kalau ini cuma omong kosong.”
“Bayu, jangan!” teriak Fajar, tapi terlambat.
Bayu menarik tirai itu dengan satu gerakan cepat. Debu beterbangan, membuat semua orang terbatuk-batuk. Di balik tirai, sebuah lukisan besar terpampang jelas. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita dengan gaun merah, berdiri di tengah hutan gelap. Matanya yang tajam seolah menatap langsung ke arah mereka. Namun, yang paling aneh adalah ekspresinya—antara marah dan putus asa.
“Apa-apaan ini?” gumam Karin, merasakan dada yang tiba-tiba sesak.
Lia mendekat untuk melihat lebih jelas, tapi berhenti tiba-tiba. “Tunggu... aku merasa seperti... dia melihatku,” katanya sambil memegang lengan Andra.
Danra menggeleng, mencoba merasionalisasi. “Itu hanya ilusi. Lukisan memang sering terlihat seperti menatapmu dari sudut tertentu.”
Tiba-tiba, suara seperti bisikan halus terdengar. Awalnya samar, seperti angin yang masuk melalui celah dinding. Tapi semakin lama, bisikan itu menjadi lebih jelas, seperti seseorang berbicara langsung ke telinga mereka.
“Kalian tidak seharusnya di sini...”
Suara itu membuat semua orang membeku. Lia mencengkeram lengan Andra lebih erat, sementara Bayu menoleh dengan ekspresi terkejut.
“Siapa itu?!” teriak Bayu, suaranya menggema di ruangan kosong.
Tak ada yang menjawab, tapi udara di ruangan itu terasa semakin dingin. Lampu kembali berkedip-kedip, dan bayangan panjang muncul di dinding, bergerak perlahan seolah hidup.
Fajar, yang sejak awal terlihat gelisah, akhirnya berteriak, “Kita harus pergi sekarang! Lukisan itu membawa sesuatu yang buruk!”
Namun sebelum mereka sempat melangkah keluar, pintu ruang bawah tanah tertutup sendiri dengan suara keras. Siska menjerit, sementara Lia mulai menangis.
Di tengah kepanikan, Karin kembali menatap lukisan itu. Ia merasa ada sesuatu yang berubah. Wajah wanita di lukisan itu kini tampak tersenyum samar, namun senyum itu bukan senyum ramah itu adalah senyum kemenangan.
“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” pikir Karin, saat ia menyadari bahwa malam ini baru saja dimulai, dan mereka mungkin tidak akan keluar dari vila ini dalam keadaan yang sama.
Karin memandang sekeliling ruangan dengan napas tertahan. Semua orang terdiam, terpaku pada pintu yang tertutup rapat. Bayu, yang biasanya berani, kini tampak gelisah. Ia mencoba membuka pintu itu, tapi seolah terkunci dari luar.