“Astagfirullah…” teriakku.
Gemuruh didada ini semakin membuncah tak terkendali.
Benar saja, apa yang aku lihat dari balik kaca spion tidaklah salah.
Terlihat jelas seorang perempuan cantik berkebaya hijau dilengkapi dengan selendang warna senada di bahunya.
Sebagian rambutnya tersanggul rapi dengan hiasan konde emas, mungkin seperti putri keraton jaman dulu.
Sosok itu mengenakan rok berupa jarik batik bermotif berwarna coklat.
Namun saat aku mengedipkan mata, sosok misterius itu menghilang.
Lagi-lagi Mbak Ira mendekatiku.
“Kenapa kamu teriak seperti itu, Nis? Ada apa?” tanyanya.
Ternyata ia mendengar lafadz suci yang aku ucapkan.
“Nggak ada apa-apa, Mbak. Yuk jalan nya lebih kenceng lagi. aku duluan, ya,” ucapku.
Sengaja tak aku ceritakan sosok tersebut karena kami sedang dalam perjalanan dan saat ini kami sedang berada di hutan.
Ya, tempat tinggal kami berada di sebuah desa yang cukup terpencil.
Untuk menuju ke jalan raya saja kami harus melewati hutan sepanjang dua kilometer.
Tak terasa empat puluh menit sudah kami saling beriringan menempuh perjalanan.
Tibalah kami di pabrik tempatku bekerja.
Kuberhentikan kendaraanku di parkiran yang disediakan oleh warga sekitar.
“Mbak Ira, nanti parkir nya di sini, ya. Bayarnya seribu,” ucapku.
“Iya, Nis.”
“Ya udah, Mbak. Ayo masuk, nanti Mbak titipin lamarannya di pos satpam, ya.”
“Lho, nggak langsung disuruh interview ya, Nis?” tanya mbak Ira.
“Biasanya sih, nitip lamaran dulu.”
Aku menjawab pertanyaan mbak Ira sembari berjalan dan ia pun mengekor di belakangku.
Dua menit kemudian, tibalah kami di pos satpam dan aku pun memberikan lamaran milik Mbak Ira.