Bab 1
Di Gunung Halilintar
Seekor burung elang melayang menyusuri tujuh puncak Gunung Halilintar, melewati Kaldera Katumbiri. Kebakaran hutan meranggas pepohonan seperti disembur angin neraka dengan lahap. Elang itu menyeruak ke tepian puncak yang mengepulkan api hitam. Bayangan harimau muncul, menerjang, mengaumkan suara kehilangan yang dalam. Dua ekor harimau, betina dan anak jantan tergolek lemah, tak berdaya. Elang itu mengitar di angkasa, menukik ke bawah, lalu mengepak kembali naik bersama melayangnya nyawa kedua binatang yang malang itu di udara.
Kehidupan kampung Situ Mojang yang damai dan asri menampilkan sosok Darmajaya yang lebih dikenal dengan panggilan Abah Darma, tetua kampung Situ Mojang berusia tujuh puluh yang telaten dalam merawat sawah dan kebunnya. Ma Ijah, sang istri, datang membawa bakul makanan siang, menggelar tikar dan menuangkan nasi dan lauk pauk yang dibawanya itu ke atas daun pisang untuk suami tercinta. Ia menyiuk porsi yang lebih kecil untuk dirinya sendiri. Keduanya makan siang dengan suka cita sambil menceritakan pekerjaan yang mereka selesaikan siang itu.
Usai makan, Ma Ijah membawa seikat daun kangkung yang dipetik Abah Darma pulang ke rumah.
Andrio Bahri alias Rio berlari ke sana ke mari. Di belakangnya tampak bayangan putih dan bayangan hitam melesat seperti petir, seperti menggiringnya pergi dari tempat itu. Rio masuk ke dalam semak belukar. Kemeja flanelnya sobek. Sepasang matanya berkedip-kedip dalam semak.
Setelah memastikan kondisi di luar aman, Rio keluar semak, sobekan flanelnya lepas, menyangkut di semak. Dia mengecek ponsel, meringis, lalu membuat keputusan cepat. Dilepaskannya kemeja flanel untuk mengusap peluh yang mengucur di wajahnya yang pucat. Dengan bertelanjang dada, dia membuat velfie. Ponsel ia putarkan ke sekeliling.
“Denger, gaes…,” katanya sambil celingukan ke belakang. “Entah apa sugesti gue, atau emang gue tiba-tiba jadi psychic, but believe it or not, gue kayak main petak umpet ama makhluk-makhluk halus gunung ini, gaes... So, sekarang gua harus balik ke sabana lagi biar lolos dari makhluk-makhluk itu. Mungkin gue harus nyari ladang ganja atau tempat penggalian pasir. Itu pun kalo gue nggak out of energy, ‘cuz makanan ama baterai gua mau abis. In case, ini kata-kata terakhir gue... Spread the peace!” Dua jarinya teracung menutup layar.
Sebelum Rio menekan tombol off, sebuah bayangan putih berkelebat di belakangnya.
Mata Rio melotot kaget. Rio celingukan ke belakang. “Elo liat, nggak, gaes??! Bayangan putih yang melintas secepat kilat itu?” Sesaat terasa ketegangan yang menyelimuti. “Suwer, gue belom pernah ke ladang ganja liar itu, jadi gue nggak high, gaes…” Ia mengusap mukanya yang pucat. “I gotta get outta here…”