Bab 3
Di Puncak Gunung
Rio kehausan, ia mulai linglung. Seorang laki-laki tua muncul memanggul cangkul dari arah berlawanan.
“Hapunten, Ki... Aki tahu, ini wilayah mana? Saya tersesat, Ki…,” sapa Rio, tanpa basa-basi menanyakan posisinya.
Ki Warsa menaruh cangkulnya di tanah. “Ini teh daerah Kawah Katumbiri di Utara Gunung Halilintar. Ieu mah wilayah larangan, Jang... Ambil arah ke barat we yang dekat. Nanti nyampe ke Kampung Situ Mojang.”
“Haturnuhun, Ki…”
Ki Warsa menyerahkan botol air yang dibawanya. Rio menerimanya dengan senang hati.
“Sok, sing salamet…”
Rio mengangguk, lalu pergi. Ketika menoleh, Ki Warsa raib.
Tiga anak berandal kampung, Ace, Ijang dan Undang duduk-duduk di warung sambil asyik main gitar dan minum kopi.
“Cuaca yang syahdu begini, pas buat ngopi dan ngobrol, coy…” kata Ace. Tangannya memetik senar.
Suara sumbang senar terdengar, JRENG! Ijang dan Undang tertawa fals senada dengan senar. Mirip kaset pita yang soak.
“Oooh, life…” Suara dari urat leher tegang Ace terdengar.
“Is bigger,” Ijang nyeletuk, seperti itulah lebih tepatnya nada Ijang.
“Is bigger than you…,” Undang menyelingi lirik dengan bersenandung seperti orang tersandung pada bagian ‘you’.
“And you are not me!” lanjut Ace sambil menoyor kepala Undang.
Tiba-tiba, terdengar suara bising yang mulai mendekat. Motor yang digas Endeung meloncat di jalan terjal, meletup-letupkan asap knalpot menuju lokasi penggalian pasir.
20 Unsur SAR bergerak maju ke Pos 3 Tarawangan, sesuai regu masing-masing secara berurutan. Galang dan Kiran merayapi tebing yang licin. Terdengar gemuruh dari puncak. Tangan Kiran terpeleset, tapi dengan cepat ditangkap oleh Galang. Guido menyusul Kiran dengan enteng.
“Suara guruh tersebut sering terjadi akhir-akhir ini. Warga lokal khawatir akan terjadinya erupsi, tapi menurut BMKG nggak ada laporan aktivitas apa-apa…,” kata Guido seperti bisa merasakan kekhawatiran Kiran.
“Kayak ada kekuatan yang menguasai dataran tinggi gunung ini…”
Terdengar suara Waluya dari walky-talky Galang.
“Sedikit toleran sama empat Srikandi kita. Mari beristirahat barang sepuluh menit saja…”
Mereka beristirahat sambil duduk di atas ransel masing-masing. Empat Srikandi IPB menyedot minuman masing-masing.
“Akhirnya, kesampean juga mendaki di Miniatur Semeru ini,” kata Safina sambil membuka botol air-up.
“Bagi para pecandu ketinggian, ini belum apa-apa dibandingkan sama trek summit Sang Mahameru…,” kata Andini.
“Jangan ngeremehin gunungnya si Thor ini, Din... Di atas puncak masih ada puncak lagi... Kalau sudah sampai yang ke 4, pasti mulai takut…,” kata Ashley.
“Takut apa?” Andini merengut aneh.
“Takut nggak bisa kembali menikmati pemandangannya yang indah...!” kata Ashley.
Safina menggosok-gosok kedua lengannya, menghangatkan diri.
“Aku heran... Kenapa, koq penemu rute Parung ini katanya orang Perancis, tapi namanya Junghun, kayak Permen Korea aja?” kata Safina polos.
“Itu mah Jong Un, Neng…,” kata Ashley.
Tiara nyeletuk. “Kan, namanya juga Thunder Mountain, jadi ada bunyi “hun”-nya…”
Terdengar cekikikan empat Srikandi. Waluya memberi kode “lanjut”.
Perjalanan dilanjutkan ke Pos 3 Tarawangan. Mereka tidak menyadari, bahwa di Puncak Panglayang, seorang laki-laki tua bungkuk mengenakan kupluk abu-abu meneropong pergerakan itu, lalu mendaki tanpa kendala.
Kedatangan empat regu SAR itu mengagetkan para pendaki yang berkemah di camp area. Eka meminta mereka turun, pendakian ditutup untuk sementara. Para pendaki itu meruntuhkan tenda masing-masing.
Keempat Ketua Regu; Eka, Faisal, Waluya dan Galang berkumpul untuk menetapkan tahap Pemagaran, Deteksi dan Tracking. Mereka membawa dua orang anggota masing-masing melakukan pencarian.
Dua orang anggota regu lainnya mendirikan tenda-tenda.
Nini Nidum duduk di atas bale-bale dapur sambil makan nasi dengan pepes tahu dan urap daun singkong. Mang Oded muncul mendobrak pintu dapur. Si Nini dengan santai mendorong piring jatah Mang Oded. “Tah, dahar...!”
Mang Oded berdiri mematung. “Mereka akan datang menangkap kita. Kita nggak bisa lolos kali ini…” katanya. Dadanya turun naik.
Nini Nidum mendengus. Matanya terpekur, lalu menatap dengan nanar mantan suaminya itu. Perlahan si Nini bangkit dari bale-bale, menghentakkan tongkat kayu ke lantai tanah dengan keras. Sumpit itu membelasak di tanah. Si Nini meludah. Tongkat si Nini yang didekorasi dengan hiasan unik itu rupanya adalah sumpit Dayak.
Ceprotan ludah si Nini, di samping ujung sumpit yang menancap di tanah.
“Can nyahoeun rasana ditiup ku sumpit aing...
Suasana gubuk tua itu mulai terasa mencekam.
“Sebaiknya kita berkemas, saya tahu tempat yang aman,” kata Mang Oded tegas.
Mang Oded bergegas ke kamar tidur, membungkus pakaian dari lemari dan yang menggantung di paku.
“Ini kali keempat, nini-nini itu mengingkari janjinya,” Mang Oded menggerutu sendiri.
Tiba-tiba, terdengar hentakan sumpit Dayak di lantai.
“Nggak akan ada yang meninggalkan tempat ini.” Suara Nini Nidum itu terdengar dingin. Senjata maut yang dipegangnya menancap di lantai.
Mang Oded celingukan dengan senyum terpaksa. Ia tahu, si Nini tidak akan berdiam diri dengan senjata-senjata maut lainnya. Suasana gubuk mulai terasa makin mencekam. Di kepala Mang Oded terbayang apa yang akan dilakukan oleh si Nini dengan benda-benda berbahaya yang ada di dalam gubuk itu.
Dua botol racun berlabel P untuk potas sianida dan T untuk tetrodotoksin dan sebungkus kapur sirih di lemari dapur. Kotak perkakas berisi panah-panah sumpit di bawah bale-bale. Parang tajam yang terselip di palang dada. Kapak yang menancap di tempat pembelahan kayu bakar. Gulungan kawat yang melingkar di paku dinding. Tiga komplang bensin. Lobang perangkap dengan mayat-mayat yang membusuk terkulai dalam hujaman kayu-kayu runcing. Burung belibis yang bersiul-siul dalam kandang.
Di kelebatan hutan, si Loreng menegakkan kupingnya, mempertajam insting. Perlahan keluar dari semak belukar persembunyiannya sambil menggeram.
Mang Oded menelan ludahnya.