"Bro, " ucap Jamet diiringi rasa takut.
"Apaan, sih? " tanya Irwan.
"Lihat, tuh, " tunjuk Jamet sembari menunjuk mayat itu.
"Ma-ma-ma-yat!" seru Nuno yang malah menyadarinya terlebih dahulu.
Ketiga remaja itu badannya seolah kaku, seperti patung bodoh yang tak tahu harus berbuat apa. Mereka melihat mayat seorang berjenis kelamin laki-laki terlungkup di dekat ruang prodi.
"Gimana? " Irwan angkat bicara setelah beberapa menit terdiam.
"Lapor ke Pak Satpam aja, Bro, " sahut Jamet langsung menuju depan di mana pos satpam berada.
"Pak, ada mayat! " seru Jamet langsung menguncang-guncangkan bahu seorang satpam bernama Ujang.
Ujang yang mengetahui berita itu langsung menarik lengan Jamet dan suruh menunjukan tempat kejadian. Tak lupa satpam berusia lima puluh tahun itu, membawa senter sebagai penerangan.
"Itu mayatnya, Pak, " Jamet menarik lengan Ujang untuk mendekati mayat itu.
"Wah, harus segera lapor polisi, nih, " ucap Ujang langsung mengambil ponsel dan menelepon polisi terdekat.
"Ini tadi gimana ceritanya? " Ujang menatap ketiga remaja itu. Akhirnya, salah satu dari mereka menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Ujang memundurkan topinya. Dia merasa aneh, tadi belum ada sepuluh menit dia mengecek seluruh kampus belum ada mayat di lantai terbuat dari batako itu.
"Ini ada apa, Pak? " tanya salah satu dosen.
"Ada mayat, Bu, " tunjuk Ujang.
Dosen itu merasa syok saat melihat mayat tertelungkup itu di depan matanya. Sesekali dosen itu menggelengkan kepala. Dosen tersebut bernama Bu Ima berusia tiga puluh delapan tahun.
"Pak, coba mayatnya di posisikan yang wajar biar kita tahu siapa dia," ucap Nuno, ingin tahu. Dia benar-benar penasaran siapa mayat itu. Barang kali dia mengenalnya.
"Lo begok atau gimana, sih, No! " seru Jamet sedikit marah. "Kalau mayat ini dipegang duluan, ya sama aja kita ngilangin sidik jari pelakunya kalau memang ini murni pembunuhan! "
Irwan menoyor kepala Nuno yang kebetulan ada di dekatnya. "Punya otak dipake dikit! " serunya menahan tawa. Irwan sudah paham bagaimana sifat temannya satu ini yang selalu gegabah dalam mengambil keputusan.
Nuno membalas menjitak kepala Irwan, dia merasa tidak terima kepalanya jadi bahan pendaratan kekesalan akibat ucapannya.