Sesuai perjanjian, Irwan, Jamet dan Sari berkunjung ke rumah Beno. Sekarang, ketiga remaja itu sudah duduk di sofa ruang tamu. Mereka sedang menunggu Ita, ibu Beno, yang sedang membuatkan mereka minuman.
"Rumah Beno tampak seram, " celetuk Jamet. Cowok berambut keriting itu memandangi dinding yang banyak foto Beno bersama keluarganya.
"Lo jangan suka bilang gitu. Dihantuin baru tahu rasa," jawab Irwan, tak kalah sadis.
Jamet menyenggol lengan Irwan. "Jangan, deh, gue ampun, "ucapnya. "Lo tahu sendiri, kan, gue awal dia habis meninggal, gue sering banget dihantuin dia. Hi ..., nggak, deh." Jamet menutupi mata dengan kedua tangan.
Kadang, ketika Beno menampakkan diri di hadapan Jamet, itulah yang membuatnya sangat ketakutan. Bahkan, sampai terbawa mimpi.
Jamet ingat betul saat Beno muncul di layar komputernya saat Jamet sedang praktikum. Hal itu membuatnya tak akan lupa pada kejadian menakutkan itu. Tak hanya itu, masih banyak kejadian menyeramkan lainnya. Ya, tak hanya Jamet, teman-teman yang lain juga sering dihantui arwah Beno.
"Silakan diminum, " ucap Ita, meletakkan tiga gelas di meja.
Irwan, Jamet dan Sari mengangguk.
"Terima kasih, Bu, " ucap Sari seraya menunduk. Jujur, Sari merasa bersalah pada Beno, mengingat perselingkuhannya dengan Thoriq. Sari merasa tak enak hati pada Ita.
"Sama-sama, " jawab Ita, tersenyum.
Irwan, Jamet dan Sari akhirnya meminum teh buatan Ita sampai habis. Setelah itu, mereka memulai pembicaraan apa maksud dan tujuan mereka.
"Maaf, Bu, kedatangan kami ke sini mau cari bukti soal Beno, " ucap Irwan.
Ita mengangguk. "Bukti soal apa, Nak?"
"Kalau Beno benar dibunuh, " timpal Jamet.
Ita diam sejenak. Ucapan Irwan seolah benar jika Beno dibunuh, bukan bunuh diri seperti yang sebenarnya dikatakan oleh polisi. Ya, meskipun tidak ada bukti jejak pembunuhan.
"Ibu rasa juga begitu, Nak, " jawabnya, menerawang jauh. "Yang Ibu tahu, Beno memang tak punya musuh, tetapi bukan tidak bisa dipungkiri kalau memang ada yang tidak suka Beno, kan?"
"Benar, Bu, " ucap Sari. "Sari minta maaf kalau sudah menyakiti hati Beno." Sari menundukkan kepala. Rasa bersalah itu kembali bersarang pada dirinya.
"Nggak apa-apa, Nak, " jawab Ita. "Ibu yakin, Beno sudah memaafkan Nak Sari."