Keyakinan Mona semakin mencuat. Tubuhnya tadi sebenarnya memang terlempar dari kursi pesawat. Mona yakin hal itu bukanlah mimpi, tapi benar-benar terjadi. Dalam sekejap dia tersungkur di salah satu sisi lorong-lorong yang pengap. Jidatnya membentur lantai yang keras. Mona benar-benar merasakan sakit.
Tangan Mona kemudian merayap di jidat. Lalu diraba-rabanya jidatnya itu. Benjolan sebesar bakpao karena terjedot lantai di lorong itu masih membekas di sana. Benjolan itu bahkan dipencetnya, memang sakit terasa. Dan kenyataannya juga, pakaian dan seluruh tubuh Mona memang basah penuh keringat di saat terjaga.
Tak ingin berlarut-larut dalam kenangan mimpinya yang seram, pandangan Mona kemudian menyerobot keluar kaca jendela pesawat. Bermaksud ingin menenangkan pikiran, namun yang muncul malahan kekagetan. Tak lagi malam yang dilihat Mona, di luar pesawat ternyata terang benderang.
“Hari sudah siang..? mana mungkin...!” Bola mata Mona langsung terbelalak dicengkeram rasa penasaran.
Masih tak puas Mona dengan apa yang dia lihat. Gadis itu mengucek-ngucek matanya. Kemudian dia dekatkan wajahnya ke kaca jendela. Masih tak puas juga, wajahnya kini lebih dekat lagi hingga hidung dan keningnya menempel cukup lama di sana. Tak berkedip mata Mona beberapa saat karena tidak percaya.
“Ini bukan mimpi kan...?”
Wajar saja Mona merasa heran.
Malam yang gelap menghilang dalam sekejap, seketika berubah jadi siang. Badai ganas dan sambaran petir yang tadi membahana di angkasa tiba-tiba lenyap begitu saja. Entah bersembunyi di mana.
Kemudian, Mona menengadahkan wajahnya ke atas. Langit diintipnya. Warna biru tampak terkembang tanpa cahaya bintang. Begitu terik terlihat. Bahkan matahari tegak lurus tepat di atas kepala.
Masih tak puas juga. Mona mengintip lagi ke bawah. Laut biru terlihat membentang panjang. Pantulan cahaya matahari di permukaan air terlihat jelas terang benderang. Semakin carut-marut pikiran Mona melihat semuanya.
Puas menatap ke luar. Untuk beberapa saat Mona merasa harus melepaskan ketegangan pikirannya. Mencoba melupakan mimpi yang seram. Melupakan lorong-lorong hitam. Melupakan juga mengapa hari mendadak siang.
Sandaran kursi sedikit dia rebahkan ke belakang. Mona memanjakan punggungnya di sandaran. Namun dia tak bisa, walaupun hanya untuk beberapa saat. Mona kembali terperanjat.
“Waktu......! sebenarnya pukul berapa sekarang ya..? mengapa semuanya terhenti di angka 00.00..?” Pertanyaan itu kembali melejit menusuk-nusuk pikiran Mona.
“Bertanya pada seseorang, pasti ada yang tahu pukul berapa sekarang.” Itu yang terpikir oleh Mona kini.
Kemudian Mona berdiri mengamati kursi penumpang yang lain. Masih ada penumpang yang duduk terheran-heran dia lihat. Tapi di antara mereka ada juga yang masih pingsan berada di bawah alam sadar. Mona melihat lagi ke sisi lain ruangan kabin pesawat. Semua serba berantakan. Seorang penumpang dilihatnya tersungkur tak berdaya di gang kabin pesawat di antara kursi penumpang.
Mona kemudian menoleh ke belakang. Diperhatikannya ada seorang wanita paruh baya yang duduk tepat di belakang kursinya. Wanita itu memejamkan mata, tapi dia tidak sedang tidur. Mona tahu itu.
Pelipis wanita itu berdarah-darah. Ada luka sobek di sana. Luka itu masih ternganga memanjang beberapa senti. Wajah wanita itu memar, matanya juga bengkak, pasti sakit terasa. Namun sepertinya tak ada penumpang lain yang peduli kepadanya. Mereka semua juga sibuk dengan keadaan mereka masing-masing.
“Ada apa ya dek...?” Wanita itu tiba-tiba bertanya membuka matanya.
“Maaf ya bu, kalau mengganggu.” Mona mencuri pandang pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri wanita itu.
“Ah nggak apa-apa dek, tapi ada apa ya?”
“Kalau boleh tahu, sekarang pukul berapa ya bu? soalnya jam saya lagi ngaco.” Mona memperlihatkan arlojinya yang tak bekerja.
Wanita itu menyibak sedikit baju lengan panjang yang menutupi arloji di tangannya. Kulit jidat wanita itu tiba-tiba berkeriput. Tersamar juga perasaan heran di wajah wanita itu seketika dia melihatnya.
“Pukul berapa sekarang ya bu.? harusnya mendekati fajar kan..?” Desak Mona tak sabar mendengar jawaban.
“Iya sih, seharusnya sekitar pukul empat pagi, tapi lihat nih, kenapa sekarang jamnya tertulis angka nol-nol-nol-nol ya..?” Jawab wanita paruh baya itu memperlihatkan arlojinya pada Mona.
“Berarti masih pukul dua belas malam, benarkan bu..?” Mona langsung menyambung pertanyaannya.
“Iya dek...., mungkin memang begitu.” Suara wanita itu tak bersemangat.
“Kalau tanggal hari ini bu..?” Pertanyaan Mona masih berlanjut.