The Motive

IyoniAe
Chapter #3

Bab 2

Sabtu, 21 Maret

“Ya, Pa!” Seorang wanita mengakhiri panggilan telepon dari suaminya. Ia memandang anaknya yang tengah asik bermain dengan sang nenek.

Sudah lima belas tahun dia tidak pulang ke rumah orang tuanya di Solo. Ia tahu pasti bahwa ibunya sangat merindukan dirinya serta cucu laki-laki yang kini sudah kelas tiga sekolah dasar. Ia terakhir bertemu ibunya sepuluh tahun yang lalu, saat sang ibu datang ke Surabaya untuk menengok kelahiran cucu laki-lakinya. Wanita itu adalah Erin Chandra. Seorang ibu rumah tangga yang kini tinggal di Surabaya.

Erin tengah duduk di sofa sambil mengotak-atik gawainya. Setelah tangannya terasa panas, ia meletakkan gawai itu di meja. Sudah hampir setengah jam wanita berumur 33 tahun itu mengobrol dengan suaminya yang ada di Surabaya.

“Mama pulangnya jangan lama-lama, ya? Papa kangen!”, “Kenapa tidak besok saja pas lebaran sih, Ma?” kata-kata yang selalu diucapkan sang suami selama tiga puluh menit mereka mengobrol. Dan selama tiga puluh menit pula Erin menjelaskan kenapa ia ngotot meminta pulang ke kampung halaman. Selain kangen dengan ibunya, wanita berambut panjang itu juga akan menghadiri undangan reuni yang diadakan di sekolahnya yang dulu. Jarak sekolah itu dari rumah cukup dekat, hanya sepuluh menit jalan kaki.

Erin memandang kartu undangan di samping gawainya. Ia lalu mengambil dan mengamatinya. Reuni itu akan diadakan pukul tujuh malam nanti. Masih ada tiga jam lagi.

Ia teringat masa-masa sekolahnya yang sudah berlalu. Masa saat usianya masih remaja. Masa saat ia mengerti arti sebuah persahabatan dan pengkhianatan. Juga masa saat dia mengenal arti patah hati, dan Eli, Elionora.

Mereka merupakan sahabat dekat sejak kecil. Rumah Eli dulunya berada di samping rumah Erin. Setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama sehingga orang lain yang kebetulan melihat mereka mengira bahwa mereka adalah anak kembar.

Setelah memasuki masa SMA, semuanya berubah. Kepribadian Eli yang cantik, ceria, dan juga ramah semakin cemerlang di sekolah. Ia memiliki banyak teman. Sedangkan Erin yang pendiam dan kaku hanya dianggap sebagai sebuah bayangan.

Wanita yang kini sudah bersuami itu sadar bahwa dulu, ia bukanlah siapa-siapa. Dia juga tidak ingin menjadi siapa-siapa. Ia hanya ingin dianggap sebagai 'Erin sahabat Eli'. Erin tak masalah hanya dianggap sebagai bayangan oleh orang lain selama Eli masih menganggapnya teman. Hingga tragedi itu terjadi.

Tanpa sadar, Erin meremas kartu undangan yang digenggamnya. Ia menutup mata erat-erat, mencoba untuk tak mengingat-ingat gadis itu lagi. Salah satu alasan Erin meninggalkan kampung halaman ialah ia ingin lari dari Elionora, sahabatnya.

Setelah lulus SMA, wanita berkulit putih itu tak mau melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas. Di samping tidak punya uang, ia juga ingin pergi jauh dari rumah dan lingkungannya. Dia ingin pergi jauh dari Elinora.

Erin nekat pergi ke Surabaya hanya dengan uang tiga ratus ribu rupiah hasil tabungan uang jajannya selama setahun. Hal pertama yang dilakukannya ialah mencari tempat tinggal. Ia mendapatkan kost khusus putri yang murah, dengan syarat satu kamar untuk tiga orang. Erin tak mempermasalahkan hal itu. Yang terpenting, dirinya tidak menjadi gelandangan di Surabaya.

Teman sekamar wanita yang dulu berambut pendek itu merupakan seorang buruh pabrik garmen di Surabaya. Meski tanpa pengalaman menjahit, gadis cantik yang kini sudah menjadi ibu itu nekat memasukkan lamaran ke pabrik tersebut. Ia menyelipkan uang lima puluh ribu rupiah di dalam surat lamarannya. Tiga hari setelah surat itu diterima bagian HRD, ia mulai bekerja. Erin terus bekerja hingga bertemu dengan suaminya. Suaminya adalah salah seorang tamu dari atasan Erin di pabrik itu.

Enam bulan setelah berkenalan dengan Bryan Chandra yang rupanya seorang eksekutif, Erin menerima pinangan laki-laki tersebut. Pernikahannya dengan duda tanpa anak nan kaya membuat status sosialnya naik. Ia yang dulu harus tidur sikut-sikutan dengan yang lain, sekarang bisa menikmati kamar luas dengan AC yang sejuk.

Kini setelah lima belas tahun berlalu, Erin merasa pelariannya sia-sia. Meski raganya jauh dari kampung halaman, hatinya masih terpaut dengan tempat ini. Hatinya masih terpaut dengan Eli. Ia harus kembali dan menyelesaikannya, dan menemui sahabatnya.

Kesempatan itu datang saat undangan reuni yang telah diterima sejak sebulan yang lalu. Namun begitu, Erin tahu bahwa Eli tidak lagi ada di sini. Tak apa, pikirnya. Ia akan mencari. Ia akan menyelesaikan apa yang telah tertunda. Erin akan kembali kepada sahabatnya.

Wanita berbadan cukup berisi itu teringat perkataan Eli lima belas tahun yang lalu, saat dia dan empat temannya yang lain masih bersekolah, “Janji? Jika kita dewasa nanti, Lima Sekawan akan kembali ke kelas ini untuk reuni. Janji?”

Saat itu Eli mengulurkan tangan kanannya ke depan. Tangan itu disambut oleh empat orang lainnya dengan senyum mengembang. Mereka menyaguhi tuntutan gadis itu.

Ya, mereka telah berjanji. Eli telah berjanji. Dia pasti akan menepati. Sahabatnya pasti akan datang. Erin akan menemuinya di kelas itu nanti malam, bagaimanapun caranya.

Lihat selengkapnya