Rekaman video dijeda, tidak ada yang jelas terlihat, kecuali pojok kanan bawah menunjukkan sesuatu sekilas lewat. Layar lantas memutar rekaman dari sudut lain, terlihat dua ekor anjing kampung berlarian seraya mengendus sesuatu ke sisi samping Mesjid. Hewan itu kemudian lenyap dan tak terlihat lagi dari sudut kamera lainnya.
Sanjaya melirik, entah kenapa Rijal serta ayahnya yang mengawasi dari belakang terlihat cemas.
“Kenapa kalian cemas?” desaknya.
“Anu, kukira hantu. Rupanya hanya anjing kampung,” sahut Abdi dari belakang.
Sanjaya merasa jawaban itu terlalu dibikin-bikin, maka dia serahkan pengamatan video rekaman itu kepada kedua bawahannya. Sedangkan ia punya rencana lain. Ia melangkah keluar, menyalakan sebatang rokok. Matanya mengitari arah pergerakan dua ekor anjing yang ia lihat tadi, lalu berjalan gontai.
Ia bergerak pelan di bawah cahaya temaram hingga tiba di bagian belakang Mesjid. Tempat wudlu dan WC. Beberapa jarak di samping ada sebuah bangunan besar yang digembok. Ia kembali melangkah, mengintip di kaca. Senter menyala, ternyata di dalam ada keranda, lengkap dengan selang air.
Sanjaya mundur selangkah, dugaannya perlahan jadi nyata. Dia kembali menyorotkan senter ke sisi lain. Dan benar saja, ada sebuah terpal menutupi sesuatu yang besar. Tanpa pikir panjang, ia buka terpal itu. Sanjaya tersenyum, sesuatu yang mencurigakan terpampang di depannya. Dia menemukan sebuah mobil ambulan berwarna hijau bergaris putih.
Yang lebih mencengangkan, ada tetesan darah kering di bagian belakang.
*****
Sanjaya mengambil pisau lipat dari saku, mencolek darah itu lalu menyimpan pisau ke dalam plastik klip. Dia bergegas meraih ponsel, mengambil foto dari segala sudut. Rupanya perbuatan itu menarik perhatian Abdi yang sedari tadi diam-diam menguntit. Bergegaslah marbot tua itu mendekat lalu menerangkan bahwa ambulan itu sumbangan salah seorang caleg yang kini duduk di kursi DPRD.
“Tiga tahun lalu. Kata beliau untuk dimanfaatkan warga. Terserah mau mengantar jenazah ke kuburan atau mengantar orang sakit ke rumah sakit,” terang Abdi.
Sewaktu ditanya kenapa ada darah kering di belakang, Abdi berucap, “Dua hari lalu ada kecelakaan di jalan depan sana. Pengendara motor digencet truk sawit CPO. Korban meninggal di tempat. Kepalanya remuk, dan sopir sudah ditahan. Periksa saja media daring, ada beritanya di situ.”
Sanjaya lekas mengecek, faktanya memang benar begitu. Namun tentu saja ia tak gampang percaya.
“Kenapa belum dicuci?”
Abdi menjawab gelagapan, “Tak sempat, tentu saja. Anakku sudah terlalu lelah karena berjualan saban malam. Aku juga tak kuat kena air. Asam uratku bisa kambuh.”
“Asam urat kambuh tapi masih kebelet berbini lagi?”
Abdi terkekeh dan Sanjaya mencecar lagi, kenapa mobil itu tidak diantar saja ke tempat pencucian.
Abdi beralasan, “Kas menipis. Harus diutamakan untuk kebutuhan genting. Warga sulit ditagih meski sepuluh ribu sebulan. Orang-orang ini selalu ada saja alasannya jika menyangkut perkara akhirat.”
Keterangan barusan justru membuat Sanjaya kian curiga. Ia merasa hanya sekedar omong kosong. Ia kemudian memaksa untuk memeriksa bagian dalam ambulan dan Abdi mau tak mau menurut. Sesudah bak belakang ambulan terbuka, Sanjaya memang menemukan adanya sejumlah benda menguatkan kerucigaannya. Sebuah potongan plastik bening kecil serta beberapa helai rambut.
Ia segera memanggil anak buahnya untuk memeriksa ambulan itu lebih seksama. Abdi karuan makin ketar-ketir demi melihat polisi memungut sejumlah benda dari dalam ambulan. Sesudah itu Sanjaya meminta supaya ruang pemandian jenazah dibuka. Ia melangkah masuk dan menemukan ruang itu sangat bersih. Keranda, selang dan sebagainya tersusun rapi di tempat. Hanya ada aroma pembersih lantai yang masih menyengat. Bagi Sanjaya, aroma itu sudah cukup untuk memupuk kecurigaannya pada Abdi maupun Rijal.