Setibanya di sana, rupanya jenazah telah selesai disholatkan. Mereka lihat peti mati bertutupkan kain hijau dengan tulisan huruf arab tengah digotong. Di belakang, warga desa berjalan berduyun-duyun mengantar mendiang menuju liang lahat. Di barisan depan, pihak keluara menangis meraung-raung macam orang kesurupan.
Kapolsek buru-buru memarkir mobil sekedarnya sedangkan Sanjaya sudah melompat begitu saja untuk segera bergabung dengan para pengiring. Kanit reserse itu curi-curi pandang, ia dapati Andriani, Rohman dan Thomas sudah berada di posisi masing-masing.
Hingga proses pemakaman selesai lalu kembali ke rumah duka, Sanjaya tak menemukan hal-hal yang sekiranya mencurigakan. Baik sekedar selentingan maupun tingkah laku para pelayat. Semuanya berjalan layaknya pemakaman. Hanya ada isak tangis, wajah-wajah murung serta puja-puji betapa baiknya kedua mendiang selama masih bernyawa. Tentu saja diiringi raut sesal terkait betapa tragisnya nasib Ustaz Karim. Semua orang mengutuk betapa kejinya aksi pemenggalan kepala itu.
Sanjaya lalu tercenung, rontok hatinya demi melihat seorang bocah berusia tiga tahun ditinggal mati ayahnya dalam keadaan mengenaskan, sementar sang ibu entah di mana rimbanya. Karena itulah ia bertekad akan menangkap si pelaku. Namun renungan itu seketika teralih. Ia lihat Kapolsek tengah diberondong pihak keluarga korban dengan beragam perkataan memojokkan dan merendahkan. Kata-kata itu karuan membuat setiap polisi di negeri ini otomatis tersinggung. Mulai dari dianggap tidak becus, bekerja sekehendak dengkul, penjual sawah bapak, penerima suap, tukang hoax dan banyak lagi.
Akan tetapi entah kenapa, Sanjaya tak sedikit pun tersinggung akan kalimat-kalimat nyelekit itu. Mungkin karena ia memang tak pernah begitu. Namun ia kagum juga betapa Kapolsek yang usianya jauh lebih muda dibanding dirinya tidak lepas kendali. Kapolsek itu begitu ulung menepis segala tudingan. Bak politisi kelas tinggi.
Yang paling kasihan justru seorang Bhabin yang pucat wajahnya demi menenangkan keluarga mendiang Ustaz Karim.
Sanjaya mendekat, lalu sengaja mencuri dengar berbagai tudingan yang tentu saja bisa ia maklumi.
“Jika saja Polisi sigap, pasti tidak begini jadinya. Keponakanku takkan mati dipenggal lehernya,” racau seorang bapak-bapak.
Seorang pria lain berperawakan gempal juga tak mau kalah.
“Sudah dilapor sejak semula bahwa Ustazah Rosmala diculik, kau justru cari-cari alasan supaya Polisi tak bergerak. Inilah itulah. Sewaktu Ustaz Karim menghilang, kau belagak panik. Sekarang dia sudah jadi mayat, apalagi alasanmu?”
“Kau harus temukan istrinya. Bisa jadi wanita itu dalangnya!”
Kapolsek menerangkan bahwa Polisi memang bekerja diam-diam. Dan berjanji bahwa pelaku akan segera dibekuk lantaran petugas sudah bergerak ke sana kemari dengan metode paling lihai serta teknologi paling canggih. Akan tetapi pihak keluarga sudah kadung kesal, alasan itu dianggap angin lalu.
Sanjaya lama-lama tak tega juga rekannya dihakimi begitu. Ia bersiap pasang badan dan terjadi keajaiban. Pambakal (Kepala Desa) mendadak muncul entah dari mana. Pada akhirnya keributan itu mereda dan Kapolsek pun lekas-lekas pamit undur diri. Sanjaya segera duduk di sebelah kursi sopir, mobil itupun melaju meninggalkan rumah duka.
“Orang berduka memang begitu. Emosi mereka tak terkendali dan tindakan mereka sulit dipahami,” terang Kapolsek di balik setir.