“Jadi, kita mau riset ke mana buat tugasnya Pak Cahyo?” tanya Sanja. “Kan harus tempat yang mistis-mistis, tuh.” sambungnya.
Arum menyikut temannya. “Bukan mistis, tapi ada latar belakang budaya yang kental,” ia mengoreksi.
“Iya, deh, itu,” jawab Sanja mengiyakan
“Aku ada saran, sebenernya,” Indra angkat bicara. “Tapi mau didiskusiin sama kalian dulu. Gimana kalau kita riset ke tempat asalnya Arum?”
Yang namanya dipanggil menoleh. “Ke Sintang? Mau riset apa di sana?” tanyanya.
“Kan ada itu, tuh, apa? Bukit Batu Kelam? Bukit Kelam? Itu, deh,” jawab Indra. “Setau aku sih, ada legendanya kan, gunung itu? Mending kita riset ke sana aja, sekalian refreshing.”
Arga mendengkus. “Ah, kita semua tau kalo Indra udah ngomongin perbukitan, pergunungan, sama pertebingan dia pasti ngide mau mendaki,” oloknya. “Tapi aku setuju aja sih, mana tau keluarga Arum di sana ada yang cakep, kan?”
“Jangan kurang ajar, Ga,” tegur Arum. Ia kembali menoleh ke arah Indra. “Boleh-boleh aja sih, menurutku. Kalo legenda yang kamu maksud, pamannya ayahku sering nyeritain itu ke anak-anak di kampung. Nanti biar aku tanya, beliau mau nggak bawa kita mendaki sambil cerita.”
Indra menepukkan tangannya satu kali. “Nah, bagus tuh, kalo keluargamu setuju. Gimana yang lain? Arga, Sanja?”
“Aku ikut aja,” kata Sanja. “Nanti biar sekalian aku nyusun narasi buat vlog kelompok kita.”
“Ya ikut, lah. Mau nolak pun kita nggak punya ide lain,” kata Arga sambil berkelakar. “Yang penting kalo ada apa-apa, jangan aku yang ditumbalin duluan.”
“Ya makanya kalo ngomong tuh jangan suka asal,” omel Sanja. Gadis itu duduk merapat pada Arum dan Indra. “Jadi kapan dan gimana nih, kita ke sana?”
“Mobil biar aku yang urus, deh, biar aku ada kerjaan. Nanti dibilang nggak kerja, lagi,” timpal Arga.
“Peralatan aku yang urus,” kata Indra. “Arum urus perizinan sama sosialisasi kita kalau udah sampai di sana. Sanja kan katanya mau ngurus vlog, bisa nggak kalo sekalian sama dokumentasi? Jadi nanti video dan fotonya ada yang diedit buat vlog, sisanya buat dokumentasi di laporan. Itu kita bagi tugas lagi aja nanti. Gimana, semuanya?”
Ketiga temannya setuju dengan suara bulat. Indra mencangklong ransel tanda pertemuan selesai. Yang lain pun segera membereskan barang masing-masing.
“Cerita apa sih, yang mau dibahas ini, Rum? Aku nggak pernah banyak cari tau tentang Sintang,” tanya Sanja sambil mengiringi Arum ke parkiran, sementara Indra dan Arga memisahkan diri ke motor masing-masing.
Arum ketawa. “Makanya nanti waktu kita riset, kamu sekalian belajar,” candanya. “Nih, aku kasih tau inti ceritanya, ya. Nanti kalo kita udah sampai di bukitnya, kamu dengerin pemandu kita baik-baik! Jadi….”
***
“Jadi, gimana ceritanya kamu bisa dapet SIM A dadakan, Ga?” tanya Indra skeptis dari tempatnya duduk di samping bangku pengemudi.
“Gila, ya? Bukan dadakan, aku emang punya dari dulu!” balas Arga sambil tertawa. Di saat yang sama, ia menyalip mobil lain dengan tajam sampai-sampai para gadis di tempat duduk belakang berseru kaget dan Indra berpegangan ke dashboard.
“Aku nggak percaya!” protes Sanja dari belakang. “Nyetir kesetanan begini, pasti SIM-nya nembak!”
“Sembarangan!”
“Guys, udah,” tegur Arum. “Ga, hati-hati dikit jalannya. Kamu juga Sanja, jangan bikin fokus Arga jadi nggak ke jalanan.”
Sanja mendecakkan lidah. “Salah dia sendiri ugal-ugalan,” gerutunya, tetapi ia tak lagi meneriaki Arga. Akhirnya, keadaan di dalam mobil tidak lagi ricuh, hanya beberapa suara obrolan diiringi lagu dari speaker.
“Eh, aku mau review dulu ya, materi yang udah kita dapat,” kata Indra dari depan sambil menyalakan tabletnya. “Jadi, Bukit Kelam ini adalah sebuah monolit atau bongkahan batu raksasa setinggi seribu dua meter di atas permukaan laut. Bukit Kelam itu sebenernya gunung, tapi disebut bukit karena warga sekitar menyebut gunung dengan sebutan ‘bukit raya’. Letak Bukit Kelam ini ada di antara Sungai Melawi dan Sungai Kapuas, dua puluh kilometer dari kota Sintang. Ada yang mau ditambahin?”
“Budaya yang mau kita bahas buat tugas ini ada hubungannya sama letak gunungnya, kan?” sahut Sanja. “Legendanya bilang kalau Bukit Kelam ini ada di antara dua sungai karena ada orang sakti yang mau ngeblokir arus sungainya?”
“Yes, bener banget,” kata Indra. “Oh iya, pendakian ke puncak bakal makan waktu kira-kira empat sampai lima jam, ya.”
Arga mengerang dari posisinya yang sedang menyetir. “Buset, jadi bolak-balik sepuluh jam?” keluhnya.
“Enggak, turunnya cuma tiga sampai empat jam. Kalo kita cepat, paling banter delapan jam udah selesai,” jawab Indra.
“Kenapa waktu turunnya lebih sebentar?” tanya Sanja.
“Soalnya kita turunnya nanti guling-guling kayak Sonic,” jawab Arga sekenanya. Ia mengaduh ketika Indra menjitaknya. “Bercanda, bercanda!”